Jika ada yang menerima suatu vaksin tetapi tidak mendapatkan manfaat dari vaksin itu, maka dia harus menerima vaksin lain
Jakarta (ANTARA) - Minimal, 50 persen efikasi vaksin COVID-19 atau efektivitas vaksin dalam memberi manfaat untuk mencegah COVID-19 menginfeksi, kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wien Kusharyoto.

"Kalau vaskin bisa melindungi 60 persen maka seluruh penduduk Indonesia harus divaksinasi," kata peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Wien Kusharyoto dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (28/7).

Wien menuturkan hal itu didasarkan pada ketentuan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat bahwa vaksin COVID-19 pada masa depan yang dapat dipakai perlu untuk mencegah atau mengurangi keparahan penyakit setidaknya 50 persen.

Sementara belum ada regulasi di Indonesia yang menentukan berapa persen efikasi vaksin COVID-19 sehingga dapat dijadikan vaksin untuk pencegahan pandemik itu.

Wien menuturkan jika vaksin bisa melindungi 60 persen dari total populasi maka seluruh penduduk Indonesia harus divaksinasi, untuk menciptakan herd immunity atau kekebalan di masyarakat terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Dia menuturkan ada kemungkinan bahwa suatu vaksin hanya memberikan efektivitas 50-60 persen dari yang divaksinasi.

Namun, ada juga kemungkinan kandidat vaksin tidak memberikan efektivitas sampai 50 persen sehingga tidak bisa digunakan sebagai vaksin.

Baca juga: LIPI: kandidat 27 vaksin COVID-19 masuk tahap uji klinis 1-3 di dunia

Jika ada yang menerima suatu vaksin tetapi tidak mendapatkan manfaat dari vaksin itu, maka dia harus menerima vaksin lain.

Sejauh ini, rekor pengembangan vaksin paling cepat dari proses pembuatan sampai komersialisasi vaksin adalah vaksin Measles atau campak yang hanya membutuhkan waktu empat tahun.

Pengembangan vaksin memerlukan tahapan cukup lama yakni dari proses pengembangan kandidat vaksin, kemudian masuk tahap uji yang meliputi uji praklinis pada hewan, uji klinis 1, 2, dan 3 pada manusia, hingga akhirnya dapat lisensi vaksin untuk bisa diproduksi secara massal.

Setelah uji praklinis selesai, dilanjutkan dengan pengajuan izin ke Badan Pengawas Obat dan Makanan. Setelah mendapat izin, baru bisa lanjut ke uji klinis fase 1. Jika lolos uji klinis fase 1, maka dilakukan pengajuan izin untuk dapat lanjut ke uji klinis tahap 2. Hal yang sama diterapkan untuk bisa masuk uji klinis tahap 3.

Setelah uji klinis fase III selesai maka dibuat surat permohonan izin edar vaksin tersebut kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan melengkapi seluruh persyaratan yang diminta.

Bahkan, setelah vaksin diedarkan, masih akan dilakukan pemantauan atau monitoring untuk melihat terkait potensi, keamanan dan kemungkinan terjadinya kejadian medis yang tidak diinginkan.

Baca juga: Menristek jajaki peluang kerja sama pengembangan vaksin dengan Turki
Baca juga: Anggota DPR minta vaksin COVID-19 digratiskan

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020