Jakarta (ANTARA) - Majalah “Soeloeh Tentara” terbitan Agustus 1947 memuat iklan ucapan duka cita. Redaksi majalah itu menyatakan “Saluut Revolusionerkepada Pahlawan Udara: ex-Wingcommander Constantine dan Ny Constantine (Inggris), ex-Squadronlader Hazelhusrt (Inggris), Bidaran (India), Dr Abdulrahman Saleh, Adi Sucipto, Hadi Sumarmo Wirjokusumo, Arifin, dan seorang warga negara Inggris yang belum diketahui namanya.

Kalimat kedua iklan duka cita itu menyatakan, “Jang gugur karena serangan udara pada tg. 29-7-1947. Mereka djadi kurban kebengisan dan kekedjaman fasis Belanda. Ikut berkabung. Keluarga Soeloeh Tentara

Peristiwa yang membuat redaksi Soeloeh Tentara edisi Nomor 11/12 Tahun I itu–dan tentunya banyak lagi pihak Indonesia yang lain—berduka cita demikian adalah peristiwa penembakan hingga jatuh pesawat transport C-47 Dakota nomor registrasi VT-CLA, di Desa Ngoto, Kabupaten Bantul, DIY, pada 29 Juli 1947.

Di lokasi itu, pesawat terbang sewa yang difasilitasi seorang warga negara India simpatisan kemerdekaan Indonesia, Biju Patnaik, menghunjam Bumi dan menewaskan delapan dari sembilan orang yang turut dalam penerbangan kemanusiaan berlatar semangat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Tiga di antara korban itu adalah perintis AURI yang kini bernama TNI AU, yaitu Agustinus Adisucipto, Adi Sumarmo, dan Abdulrahman Saleh. Kelak nama-nama mereka diabadikan menjadi nama pangkalan-pangkalan udara TNI AU, yang pada masa Orde Baru dan beberapa masa sesudahnya adalah pangkalan udara utama TNI AU.

Di Desa Ngoto di mana peristiwa itu terjadi, kemudian dibangun monumen dan di sana juga Komodor Muda Udara A Adisutjpto dan Komodor Muda Udara Prof Dr Abdurrachman Saleh beserta istri dimakamkan. Bagi TNI AU, peristiwa pada 29 Juli 1947 itu diabadikan menjadi Hari Bakti TNI AU, yang juga adalah inspirasi pengabdian tanpa syarat matra udara TNI ini bagi Ibu Pertiwi.



Tradisi ziarah

Tradisi ziarah dan mengenang kembali berbagai rangkaian peristiwa pengorbanan para pendiri TNI AU itu selalu dilakukan pimpinan TNI AU sejak dulu hingga kini.

Menggeser waktu tentang yang terjadi pada waktu itu, hal ini didahului oleh taktik dan strategi berperang AURI pada masa itu menyusul Agresi Militer Pertama Belanda (21 Juli-5 Juli 1947), yang oleh Belanda dinamai Aksi Polisionil memberantas “ekstrimis-ekstrimis” (milisi) yang mengganggu keamanan di bekas jajahannya itu.

Belanda berpropaganda bahwa wilayah-wilayah Indonesia (eks Hindia Belanda) diganggu oleh para ekstrimis bersenjata sehingga sah untuk “menertibkan” mereka melalui cara bersenjata.

Belanda melanggar Perjanjian Linggajati yang ditandatangani pada 25 Maret 1947 dimana salah satu hal pokoknya adalah Belanda secara de facto mengakui kedaulatan Republik Indonesia atas Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Madura. Padahal tidak pernah ada gerombolan bersenjata seperti yang mereka tuduhkan, melainkan Republik Indonesia telah memiliki Badan Keamanan Rakyat yang lalu menjadi Tentara Keamanan Rakyat dan kemudian Tentara Nasional Indonesia.

Menjawab usaha pendudukan kembali wilayah-wilayah Republik Indonesia oleh Belanda itu, AURI yang berdiri pada 9 April 1946 dan dipimpin Laksamana Udara Suryadi Suryadarma, menjawab dengan melancarkan operasi ofensif dari udara berupa pemboman terhadap tangsi-tangsi tentara Belanda.

Pangkalan Udara Maguwo di Yogyakarta menjadi sentral bagi AURI pada masa-masa itu dan kemudian, karena dari sana juga operasi ofensif dari udara ini dirandang dan dijalankan.

Hingga pada 29 Juli 1947 dini hari, di tengah pekat lepas tengah malam dan dingin udara, peta sederhana dibentangkan di atas rumput area peralihan Pangkalan Udara Maguwo itu. Yang menonjol dari rencana operasi militer pertama AURI itu adalah aktor pelakunya adalah para kadet Sekolah Penerbang Maguwo, meliputi Bambang Saptoaji, Mulyono, Suharnoko Harbani, Sutarjo Sigit, dan beberapa yang lain.

Keinginan memberi pelajaran kepada tentara Belanda dan menyatakan bahwa Republik Indonesia masih berdaulat mereka utarakan kepada Suryadarma yang kemudian memberikan restu mengingat hal ini penting untuk menggugah semangat perjuangan nasional saat itu. Juga untuk menyatakan kepada dunia internasional bahwa eksistensi Republik Indonesia tidak boleh dilihat sebelah mata.

Buku Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma yang ditulis Aditya Suryadarma (anak kandung Suryadi, yang juga berkiprah di penerbangan nasional) menyatakan, “Kalau ditinjau dari segi militer, apa yang akan saudara-saudara lakukan tidaklah besar artinya. Namun, bila ditinjau dari semangat perjuangan bangsa secara keseluruhan, apa yang akan kalian lakukan ini adalah untuk menggugah semangat perjuangan bangsa Indonesia,” kata Kepala Staf AURI, Laksamana Udara Suryadi Suryadarma.

Rencana operasi disusun Deputi Operasi Kepala Staf AURI, Laksamana Muda Udara Halim Perdanakusuma. Ia menetapkan 29 Juli 1947 sebagai Hari-H dan jam operasi adalah 05.00 WIB. Sasaran adalah tangsi-tangsi tentara Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang. Di Ambarawa terdapat Benteng Willem yang saat itu dimanfaatkan sebagai instalasi pertahanan Belanda.

Dengan pengawalan Bambang Saptoaji di pesawat Hayabusha, Mulyono dan Dulrahman sebagai juru tembak ditugaskan menyerang Semarang. Salatiga akan diserang dari udara oleh Sutarjo Sigit (flight leader) yang disertai Sutarjo sebagai juru tembak. Mereka didampingi Harbani yang bertindak sebagai wingman dan penembaknya Kaput.

AURI saat itu belum memiliki pesawat tempur yang memadai, melainkan hanya bermodalkan pesawat-pesawat tempur sitaan dari Angkatan Darat Jepang. Dengan demikian, misi militer ini memakai empat pesawat terbang yang ada, yaitu Guntei (pembom tukik), Hayabusha (pesawat terbang latih), dan Cureng (pesawat terbang latih dasar).

Para kadet minim pengalaman tempur itu terbang ke udara pada pukul 05.00 WIB, walau tidak tepat benar sesuai rencana karena ada hambatan-hambatan teknis, di antaranya Saptoaji yang tidak bisa terbang karena sistem persenjataan pesawat terbang Hayabusha-nya ternyata rusak dan tidak bisa diperbaiki.

Briefing singkat diberikan Suryadarma dan Perdanakusuma, dan berangkatlah mereka mengudara. Singkatnya, misi cukup berhasil dan Belanda yang sama sekali tidak menganggap akan eksistensi pejuang-pejuang TNI ini, sempat kocar-kacir di markas masing-masing. Pemboman membuka mata mereka bahwa ada perlawanan secara militer dari AURI.

Namun pada sisi lain, pemboman itu juga ibarat membuat mereka lebih waspada, patroli udara pada pagi itu juga langsung lebih diintensifkan. Dengan peralatan komunikasi yang lebih canggih, “jaring-jaring” udara oleh Belanda bisa berjalan lebih efektif. Sebaliknya yang terjadi dengan AURI yang masing sangat minim peralatan tempur dan komunikasi.

Pada Selasa siang, 29 Juli 1947, itu C-47 Dakota nomor registrasi VT-CLA sudah masuk di ruang udara sekitar Yogyakarta. Jangan dibayangkan bahwa penerbangan saat itu teratur seperti sekarang dengan pesawat terbang yang melaju kencang dengan mesin-mesin jetnya. Dakota dalam berbagai versinya memiliki kecepatan maksimal di kisaran 360 kilometer/jam, hampir sama dengan kecepatan helikopter perang bermesin dua pada masa kini. Pesawat transport ini jelas menjadi mangsa empuk bagi pesawat-pesawat pemburu Belanda yang berpangkalan di Pangkalan Udara Kali Banteng di Semarang (kini Pangkalan Udara TNI AD Ahmad Yani).

VT-CLA yang adalah pesawat sewa itu difasilitasi keberadaannya oleh Bijoyanda Patnaik, sang pemiliki Kalinga Airlines. Penerbangan bersejarah VT-CLA itu bermula dari perintah langsung Presiden Soekarno kepada AURI untuk menerbangkan bantuan kemanusiaan dari Palang Merah Malaysia kepada Palang Merah Indonesia dan didaratkan di Pangkalan Udara Maguwo di Yogyakarta. Berangkatlah Adisucipto dan Abdulrahman Saleh ke Malaya untuk misi itu. Setelah mendapatkan yang diperlukan, termasuk pilot yang akan menerbangkan C-47 Dakota itu, mereka terbang menuju Indonesia.

Sejalan dengan Agresi Militer Belanda I, kuasa kendali ruang udara di atas Republik Indonesia praktis ada di tangan Belanda. Akan tetapi, Belanda dan Inggris memberi jaminan keselamatan penerbangan kepada VT-CLA sekalipun situasinya adalah situasi perang. Jaminan ini diberikan sebelum misi pemboman AURI atas Salatiga, Ambarawa, dan Semarang terjadi.

VT-CLA yang dipiloti Alexander Noel Constantine (bekas penerbang RAF dan membawa serta istrinya, Beryl) dan kopilot Roy Lance Hazelhurst itu lepas landas dari Malaya pada pukul 13.00 WIB, sesudah pemboman yang membuat berang Belanda itu terjadi. Namun karena kecepatannya yang cuma 360 kilometer/jam membuat jarak Singapura-Yogyakarta harus diarungi dalam waktu yang lama.

Setelah terbang sekitar tiga jam, VT-CLA yang terbang tanpa gangguan apapun memasuki wilayah udata Yogyakarta. Di sinilah malapetaka udara itu dimulai, karena VT-CLA diketahui kehadirannya oleh dua Curtiss P-40 Kittyhawk patroli udara Belanda. Mereka sempat bermanuver menghindar karena Dakota memang tidak memiliki persenjataan apapun untuk membela diri.

Tembakan-tembakan sesungguhnya dari P-40 Kittyhawk terjadi saat VT-CLA akan mendarat di Pangkalan Udara Maguwo. Pendekatan pesawat terbang untuk mendarat memerlukan sikap terbang yang pasti dan jalur lurus harus dipilih, sehingga inilah saat yang paling kritis terhadap serbuan pesawat tempur musuh. Akhirnya, tembakan peluru kaliber 12,7 mm senapan mesin M2 Browning dari P-40 Kittyhawk mengenai sekujur tubuh VT-CLA.

Hampir seluruh sembilan orang di dalam VT-CLA itu kehilangan nyawanya di tempayt. Karena luka yang parah, Beryl meninggal dunia tak berapa lama setelah kecelakaan. Satu-satunya yang selamat adalah Abdul Gani Handonotjokro.

Sejarah mencatat identitas kedua pilot P-40 Kitty Hawk Angkatan Udara Kerajaan Belanda yang menembak jatuh C-17 Dakota nomor registrasi VT-CLA itu adalah BJ Ruesink dan WE Erkelens.

Dari peristiwa itu, AURI kehilangan tiga tokoh pendirinya, yaitu Agustinus Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo.

Sebagai suatu tradisi kemiliteran, ziarah di Monumen Ngoto merupakan salah satu tonggak penting bagi TNI AU. Hanya kali ini ziarah di sana tidak dipimpin kepala staf TNI AU dan sejumlah pimpinan puncak TNI AU karena pandemi Covid-19 masih terjadi.

"Meskipun sederhana namun Peringatan Hari Bakti ke-73 TNI AU, sarat akan makna pengorbanan dan perjuangan prajurit TNI AU dalam berbagai misi kemanusiaan untuk bangsa Indonesia di mana telah membantu pemerintah dalam penjemputan dan pendistribusian alat kesehatan dan kebutuhan logistik ke seluruh penjuru Indonesia," sebagaimana dinyatakan dalam amanat Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, yang memimpin upacara Hari Bakti TNI AU 2020 dari halaman Markas Besar TNI AU di Cilangkap. Upacara berjalan sesuai protokol kemiliteran dan protokol penanganan Covid-19, serta disiarkan dalam jejaring internet.

Hal serupa dilaksanakan di seluruh satuan dan komando utama TNI AU di Tanah Air, di antaranya di Pangkalan Udara TNI AU Silas Papare di Jayapura, yang dipimpin Komandan Pangkalan Udara TNI AU Silas Papare, Marsekal Pertama TNI Budi Achmadi.



Distribusi peralatan kesehatan

Sementara Komando Operasi TNI AU III yang bermarkas di Biak, Papua, memaknai Hari Bakti ke-73 pada 2020 kali ini dengan berlandaskan pada kondisi masyarakat yang belum pulih dari pandemi Covid-19, dan masyarakat bagian timur Indonesia yang relatif masih tertinggal dengan saudara-saudaranya di barat.

“Sehingga wujud bhakti jajaran TNI AU Koopsau III dng tetap mendukung distribusi peralatan kesehatan dan segala hal yg terkait dengan pandemi Covid-19,” kata Panglima Komando Operasi TNI AU III, Marsekal Muda TNI Novyan Samyoga.

Sebagai satuan komando operasi yang juga membawahkan kewilayahan, kata dia, mereka juga memaknai Hari Bakti TNI AU kali ini dengan ikut serta mengedukasi masyarakat agar memiliki ketahanan pangan yg baik, memberikan edukasi yang bermanfaat serta menambah kecintaan terhadap NKRI.

Sementara Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama TNI Fajar Adriyanto, mengulas jiwa kejuangan dan pengorbanan yang dilaksanakan para koleganya di TNI AU. Ia memberi ilustrasi tentang pelaksanaan tugas kemanusiaan berlandas penanggulangan pandemi Covid-19, mulai dari turut dalam penjemputan para WNI dari luar negeri, operasionalisasi rumah sakit tentara, penyaluran bahan-bahan bantuan kemanusiaan, dan lain-lain.

“Pengorbanan dan pengabdian dalam konteks masa saat ini kami maknai secara khusus, di antaranya dengan melaksanakan tugas sebaik mungkin dan bersama-sama dengan komponen lain bangsa melaksanakan misi pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Pada sisi lain, operasi dan latihan-latihan juga tetap harus berjalan sebagaimana seharusnya,” kata dia.

Baca juga: TNI AU laksanakan ziarah di Monumen Perjuangan TNI AU Ngoto

Baca juga: Peringati Hari Bakti TNI-AU, Kasau ziarah ke makam "Bapak AURI

Baca juga: Peringatan Hari Bakti Ke-73 TNI AU, sederhana tapi sarat makna

Baca juga: Pangkalan TNI AU Silas Papare siap dukung adaptasi kebiasaan baru


Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020