Kami menginginkan stabilitas di negara ini, yang akan membuat kami dapat menjalankan pemilihan umum ... dalam batas waktu yang masuk akal,
Bamako (ANTARA) - Salah satu tokoh oposisi paling berpengaruh di Mali, Mahmoud Dicko, memutuskan untuk mundur dari dunia politik, setelah melakukan pertemuan pada Rabu (19/8) dengan para pemimpin kudeta militer yang menjanjikan pemilu dalam waktu yang "masuk akal."

Hal itu disampaikan oleh juru bicara Dicko, tanpa menjelaskan keterangan secara lebih rinci. Namun, langkah itu dinilai sebagai bentuk kepuasan pihak oposisi dengan janji pemilu untuk kembali ke proses demokrasi.

Dicko adalah seorang tokoh Salafi yang mendukung ribuan orang peserta aksi dalam demonstrasi anti Presiden Ibrahim Boubacar Keita selama beberapa pekan terakhir.

Presiden Keita sendiri telah mengundurkan diri dari jabatannya serta membubarkan parlemen pada Selasa (18/8), setelah ia ditahan oleh pihak pemberontak yang mengancamnya dengan senjata.

Peristiwa penahanan Keita yang berkuasa selama hampir tujuh tahun itu semakin mengguncang Mali, negara Afrika yang memang sudah berada dalam situasi pemberontakan kelompok radikal dan bentrokan sipil.

Pihak pemberontak membantah laporan terkait jatuhnya korban pada kejadian tersebut, namun kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengatakan pihaknya mencatat kematian sebanyak empat orang, dengan 15 orang lainnya terluka akibat peluru.

Situasi negara itu memberi ancaman ketidakstabilan bagi kawasan Sahel, perbatasan wilayah utara dan selatan di benua Afrika, sehingga Uni Afrika dan Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) menangguhkan keanggotaan Mali.

Suasana di Ibu Kota Bamako relatif tenang, dan pemimpin junta meminta masyarakat dan pejabat untuk melangsungkan kehidupan normal. Namun, kejatuhan ekonomi akibat kudeta mulai terlihat dengan turunnya saham perusahaan tambang emas yang berbasis di Mali.

Juru bicara pemberontak, yang menyebut diri mereka sebagai Komite Nasional untuk Keselamatan Rakyat (NCSP), sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya tidak mencari kekuasaan.

"Kami menginginkan stabilitas di negara ini, yang akan membuat kami dapat menjalankan pemilihan umum ... dalam batas waktu yang masuk akal," kata Kolonel Ismael Wague kepada televisi negara.

Koalisi oposisi Mali, M5-RFP, merespons hal itu dengan menyebut bahwa pihaknya sudah mencatat komitmen NCSP untuk memindahkan kekuasaan saat ini melalui kotak suara pemilu, serta akan bekerja bersama kelompok pemberontak militer untuk mencapainya.

Sumber di pemerintahan Mali mengidentifikasi tiga orang pemimpin pemberontak selain Wague, yakni Kolonel Sadio Camara, Malick Diaw, dan Modibo Kone.

Wague menganggap militer negara tetangga, pasukan operasi Barkhane dengan dipimpin militer Prancis yang anti kelompok radikal, serta misi perdamaian Perserikatan bangsa-bangsa sebagai "rekan untuk mencapai stabilitas dan pemulihan keamanan."

Sumber: Reuters

Baca juga: Militer Mali janjikan pemerintahan transisi dari sipil setelah kudeta

Baca juga: Presiden Mali menyatakan mundur usai ditahan militer

Penerjemah: Suwanti
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020