Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Instran Deddy Herlambang menilai jalan tol harus kembali ke “khitah”-nya sebagai jalan bebas hambatan dan cepat sampai tujuan.

“Jalan tol harus kembali ke khitahnya sebagai jalan bebas hambatan dan cepat sampai tujuan,” kata Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Pernyataan tersebut menanggapi usulan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang meminta meminta izin kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui surat permohonan nomor 297/-1.792.1 tertanggal 11 Agustus 2020 untuk sepeda (gowes) bisa berjalan di jalan tol.

Jalan tol yang dimaksud adalah ruas jalan tol lingkar dalam ( Cawang - Tanjung Priok) pada sisi jalan barat pada setiap hari minggu khusus pukul 6.00 - 9.00 untuk mendukung acara hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) di Priok.

Baca juga: Kemarin, DKI umumkan bioskop akan dibuka hingga jalur sepeda di tol

Jalan tol ini dulu dikenal sebagai link selatan Jakarta Utara yang juga dikenal sebagai Cawang - Tanjung Priok jalan tol adalah jalan tol 16 kilometer panjang yang 12 kilometer merupakan elevated toll (layang tol).

Jalan tol ini merupakan proyek ini adalah jalan tol layang pertama di Indonesia yang membangun tahun 1987 - 1990.

Kini sesuai laporan PT Jasa Marga bahwa volume capacity ratio (VCR) ruas tol ini sudah mencapai 0,8 pada hari Minggu pukul 09.00 WIB, sebenarnya sudah tergolong padat untuk servis jalan tol.

Deddy menjelaskan apabila VCR telah mencapai 1 (nilai absolut) ekuivalen lalu lintas macet, nilai 1 tersebut menurunkan Level of service (LoS) jalan tol. Masalah turunnya LoS ( SPM tol ) ini tentunya akan mengganggu kinerja operator jalan tol dalam hal ini PT Jasa Marga.

Sesuai permohonan surat Gubenur DKI, bagaimana bila setiap hari Minggu pukul 6.00 – 9.00, sepeda diizinkan melintas di ruas tol Cawang – Tanjung Priok ( hanya sisi Barat) tentunya akan rekayasa lalu lintas dengan menutup sisi dua lajur barat, maka jalan tol sisi lajur Timur dipakai berjalan kendaraan bermotor dua arah.

Baca juga: Politisi: Jalur sepeda di tol tidak dibutuhkan masyarakat saat pandemi

“Apabila hal ini diizinkan oleh KemenPUPR, VCR dapat melebihi angka 1 ( macet total) karena normal VCR 0,8 berjalan di empat lajur ( dua arah) bila sisi Barat ditutup maka tol berjalan hanya di dua lajur ( dua arah). Persoalan ini akan mengganggu bisnis jalan tol PT Jasa Marga selalu operator jalan tol tersebut,” katanya.

Disamping itu, lanjut Deddy, sesuai UU 38/2004 tentang jalan pasal 44 ayat 2 berbunyi “Dalam keadaan tertentu, jalan tol dapat tidak merupakan lintas alternatif”.

“Artinya jalan tol tersebut bukan jalan alternatif bagi pesepeda selama jalan umum telah tersedia. Dari sektor keselamatanpun, belajar dari HBKB di JLNT Antasari yang ditutup setiap hari Minggu, ketika JLNT itu dibuka ternyata masih banyak pesepeda yang di jalan layang tersebut, akhirnya pesepeda yang masih di atas itu pada tertabrak kendaraan bermotor,” katanya.

Dia menjelaskan skenario lain apabila lajur sisi Barat tol tidak ditutup, sepeda juga berjalan bersama kendaraan bermotor. Untuk keselamatan pesepeda di tol, kecepatan kendaraan bermotor di tol akan dipaksa berjalan dibawah 60 km/jam.

Mengingat sepeda yang akan berjalan di tol tersebut bukan permanen, menurut dia, sehingga tidak mungkin dibuatkan pembatas beton sepanjang 16 kilometer untuk pembatas keselamatan jalur sepeda.

“Lalu jalur sepeda di tol akan lewat di mana, sementara bahu jalan tol sendiri untuk jalur darurat dan jalur patrol operator jalan tol,” katanya.

Belum lagi, Deddy menambahkan, ruas tol tersebut setiap hari (tanpa kecuali hari Minggu) dilewati truk-truk besar yang tentunya berjalan di jalur tol sebelah kiri.

“Apakah jalur sepeda dan jalur kendaraan besar ( truk ) akan dijadikan satu di sebelah kiri jalan tol, hal ini sangat jelas tidak mungkin,” katanya.

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020