Tentu masih ada persyaratan normatif seperti keberanian memperkuat sistem perdagangan kawasan yang sudah ada, serta keikhlasan mengedepankan kepentingan WTO dalam menangani seluruh aturan perdagangan global
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Roberto Azevedo mengundurkan diri pada hari Senin (31/8), membuat organisasi pengawas perdagangan global itu tanpa pemimpin saat menghadapi krisis terbesar dalam 25 tahun sejarah berdirinya.

Peran WTO melemah seiring meningkatnya ketegangan internasional dan proteksionisme selama perlambatan yang disebabkan COVID-19.

Langkah China dan dan pemerintahan AS Presiden Donald Trump, membuat reformasi aturan perdagangan global semakin mendesak untuk dilakukan.

“Ini memang titik terendah baru. Meskipun itu tidak mengejutkan bagi WTO,” kata Rohinton Medhora, Presiden Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Internasional, seperti dilansir Reuters.

Baca juga: Ancaman virus, WTO prediksi prospek perdagangan barang suram
Baca juga: UE, China dan 15 lainnya setuju perbaikan sementara krisis WTO


Medhora mengatakan organisasi itu tidak memiliki arah selama beberapa waktu, bahkan beberapa tahun.

Saat ini Organisasi Perdagangan Dunia secara fungsional tidak memiliki pemimpin.

Secara khusus, pengadilan banding WTO, yang mengatur tentang sengketa perdagangan internasional, telah dilumpuhkan oleh blokade Washington atas pengangkatan para hakim baru.

Azevedo, seorang warga Brazil, sedang mengincar pekerjaan di PepsiCo Inc dan delapan kandidat bersaing untuk menggantikannya.

Pada tahun 1999, kekosongan kepemimpinan selama empat bulan secara luas dianggap merusak organisasi itu.

Untuk mencegah pengulangan apa yang terjadi pada 1999, organisasi dengan 164 negara anggota itu harus memilih pengganti sementara di antara empat deputi saat ini.

Tetapi desakan Washington pada para kandidat mencegah kesepakatan, meninggalkan kekosongan yang akan berlangsung selama berbulan-bulan.

Secara teori, seorang pemenang harus dipilih selambat-lambatnya pada 7 November, di bawah proses eliminasi yang disepakati yang bertujuan untuk menunjuk direktur jenderal baru melalui konsensus.

Sementara itu pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan saat ini sudah terdapat 8 kader terbaik, dan 5 dari mereka berasal dari kawasan Asia-Afrika. Mereka adalah Hamid Mamdouh asal Mesir, Yanov Fredrick Agah asal Nigeria, Eloi Laourou dari Benin, Amina Mohamed dari Kenya, dan Yoo Myung-hee dari Korea Selatan. Sisanya adalah Lord Peter Mandelson dari Inggris, Jesús Seade Kuri dari Meksiko, dan Tudor Ulianovschi, dari Moldova.

Secara teknis panitia penyelenggara akan melakukan konsultasi dengan seluruh anggota WTO untuk memilih 1 dari 8 kandidat di atas. Selanjutnya dikerucutkan menjadi 5 nama, yang kemudian dikerucutkan lagi menjadi 2 nama saja, hingga akhirnya terpilih hanya 1 orang Direktur Jenderal. Tokoh inilah yang akan memimpin WTO hingga 4 tahun ke depan.

"Bagaimanakah peluang 5 kandidat asal Asia Afrika di atas?. Ternyata mereka adalah kader-kader yang luar biasa, dengan idealisme yang tinggi sekali," ujar Teuku Rezasyah.

Hamid Hamdouh adalah tokoh kunci di Sekretariat WTO. Visinya adalah meningkatkan perdagangan intra-Afrika, menjamin manfaat perdagangan global bagi negara-negara sedang berkembang dan belum berkembang, mempertahankan sistem perdagangan sesuai berbasis hukum, serta melindungi hak-hak negara Afrika yang selama ini terabaikan.

Sementara, Eloi Laourou dari Benin bertekad melibatkan negara-negara belum berkembang dalam kegiatan perdagangan elekronik, mulai dari tahapan negosiasi hingga penandatangan kontrak, penggalangan kesamaan posisi sejak dini, hingga akhirnya mempengaruhi arah persidangan WTO.

Kemudian, Amina Mohamed, yang pernah menjabat Duta Besar WTO tahun 2006, serta pernah memimpin Trade Policy Review Body yang berkenaan dengan penilaian kebijakan, dan Dispute Settlement Body, yang secara khusus menangani sengketa dagang. Tokoh ini bertekad mereformasi WTO, sehingga tidak lagi dikendalikan oleh negara-negara maju, namun mengedepankan peranan negara-negara Afrika.

Selanjutnya, Yonov Fredrick Agah asal Nigeria, saat ini menjabat Wakil Direktur Jenderal WTO untuk kedua kalinya. Tokoh ini mendambakan kerja sama yang lebih luas antara WTO dengan organisasi internasional guna pemberdayaan kerja sama global untuk pembangunan dan pencapaian tujuan-tujuan SDG, serta penanganan sektor perikanan secara benar, alih pengetahuan secara transparan, termasuk meniadakan tarif di bidang komunikasi, informasi dan teknologi. Dengan kata lain, tokoh ini sudah benar-benar menguasai masalah.

Akhirnya, tokoh asal Korea Selatan yang sedang menjabat Menteri Perdagangan, Yoo Myung-hee. Visinya adalah menata ulang WTO sehingga menjadi lembaga yang tepercaya, dan mampu menangani negosiasi perdagangan dan menyelesaikan persengketaan dagang. Dalam pandangannya, WTO harus lebih relevan, berdaya juang tinggi, mampu menghadapi masalah mutakhir di sepanjang abad 21 ini, serta berani mengkritisi proteksionisme yang sedang marak, yang telah membahayakan pergerakan barang dan jasa secara bebas. Tokoh ini memiliki pengalaman 25 tahun dalam negosiasi perdagangan, dan diperkirakan memiliki kepekaan tinggi atas proses pembangunan ekonomi negara-negara sedang berkembang, serta menyelesaikan rangkaian sengketa perdagangan yang hingga saat ini belum tuntas, akibat meluasnya konflik Washington-Beijing.

Dari luar Asia Afrika, terdapat 3 tokoh utama. Pertama, Lord Peter Mandelson dari Inggris, yang merupakan perunding perdagangan Inggris dan Uni Eropa, dan sangat teruji kepemimpinannya saat persidangan WTO di Putaran Doha.

Selanjutnya, masih ada wakil dari Mexico, Jesús Seade Kuri yang pernah menjadi negosiator pembentukan US-Mexico-Canada Agreement (USMCA), pernah menjabat pimpinan di World Bank dan International Monetary Fund, serta menangani penghapusan hutang atas 15 negara di Afrika. Tokoh ini berkomitmen tinggi menjadikan WTO sebagai model terbaik dari tata kelola global dunia, yang berkemampuan menyembuhkan kembali ekonomi dunia.

Terakhir, Tudor Ulianovschi, mantan Menteri Luar Negeri Moldova, dan mantan wakil Moldova di WTO. Tokoh ini kurang kredibilitas karena hanya mewakili negara berpenduduk 2,7 Juta, dengan ekonomi negaranya yang kurang menonjol di Eropa. Dengan demikian, fokus dunia akan tertuju pada 7 nama di atas.

Sampai akhir Agustus, lanjut Teuku, Amerika Serikat dan China belum menunjukkan dukungan pada siapa pun calon di atas.

Ketiadaan panduan ini akan membuat seleksi jabatan ini akan semakin menarik, sehingga semakin melibatkan jaringan-jaringan media massa internasional, termasuk pembuatan lobi di kalangan dunia diplomatik dan perdagangan, ujar Teuku.

Terlepas dari siapa pun calon Dirjen WTO nantinya, perlu diketahui jika jabatan kali ini sangatlah berat. Pengalaman diplomatik memang penting, karena menuntut kemampuan negosiasi lintas negara, lintas kawasan, lintas peradaban, kreatif dalam merancang ide-ide baru, dan tentu saja memiliki pengalaman administrasi yang sangat tinggi.

"Tentu masih ada persyaratan normatif seperti keberanian memperkuat sistem perdagangan kawasan yang sudah ada, serta keikhlasan mengedepankan kepentingan WTO dalam menangani seluruh aturan perdagangan global, dan bukannya mengutamakan kepentingan negara mereka semata," kata Teuku.

Karena Dirjen WTO di masa depan  akan ditantang untuk sukses menangani seluruh rangkaian negosiasi, termasuk monitoring, dan menyelesaikan persengketaan yang semakin pelik.

Ia mengatakan akan elok rasanya jika pilihan dunia mengerucut pada 2 calon wanita dari Asia Afrika. Memang dalam kenyataannya, WTO belum pernah dipimpin oleh kaum wanita.

Dengan dukungan 700 pegawai WTO, figur wanita diharapkan dapat melelehkan ambisi kepala-kepala negara, untuk memandang perdagangan internasional secara lebih jernih, sehingga mengedepankan ketaatan hukum dan keadilan, sebagaimana diharapkan dari seluruh dokumen WTO yang pernah mereka tandatangani.

Untuk menjadi yang terbaik, dibutuhkan koalisi besar dari negara-negara sedang berkembang, yang selama ini gencar mengikhtiarkan sebuah New Asia Africa Strategic Partnership.

Tentunya kelompok besar ini perlu secara bijak melihat pengalaman Korea Selatan membangun secara berkelanjutan, berikut keberhasilannya membuat basis industri di berbagai belahan bumi tanpa menciptakan kerusuhan di tingkat masyarakat.

Dengan demikian, suara besar mereka akan tertuju pada salah satu kandidat saja.

Dalam kondisi dunia yang sudah letih oleh krisis perang dagang dan pandemi COVID-19 ini, dunia sudah lama memimpikan sebuah keadilan baru yang langsung berhubungan dengan hajat hidup mereka. Tidak mustahil, di tangan Amina Mohamed dan Yoo Myun-hee inilah, harapan perbaikan ekonomi dunia dapat berlabuh.

Baca juga: WTO: Perdagangan global dihantam aturan pembatasan terkait COVID-19
Baca juga: RI perlu tolak proposal AS di WTO terkait status negara berkembang

Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020