Dhaka (ANTARA) - Buruh garmen di beberapa negara Asia menghadapi ancaman perbudakan modern yang kian menguat selama pandemi COVID-19, demikian hasil penelitian lembaga analis risiko asal Inggris, Verisk Maplecroft, Jumat.

Menurut analisis Maplecroft situasinya dapat berakibat buruk mengingat COVID-19 membuat perekonomian di negara-negara penghasil garmen terpuruk. Beberapa ancaman yang dihadapi buruh, di antaranya meningkatnya pelanggaran hak pekerja serta lemahnya penegakan hukum.

Untuk pertama kalinya, India dan Bangladesh masuk dalam daftar negara dengan “risiko ekstrem” bersama China dan Myanmar. Setidaknya ada 32 negara masuk daftar rentan kasus perbudakan modern, demikian hasil indeks Perbudakan Modern yang disusun oleh Verisk Maplecroft.

Buruh garmen di Kamboja dan Vietnam juga menghadapi ancaman perbudakan modern yang menguat sampai tingkat tertinggi dalam empat tahun terakhir. Kamboja menempati urutan ke-32, sementara Vietnam ada di urutan ke-35 dalam daftar negara rentan perbudakan modern.

Dari total 198 negara yang masuk dalam daftar tersebut, Korea Utara, Yaman, dan Suriah jadi tiga negara yang para pekerjanya paling berisiko menghadapi praktik perbudakan.

“Situasinya jadi kian memprihatinkan karena banyak negara kesulitan menghadapi terpuruknya sektor perekonomian akibat pandemi,” kata analis bidang hak asasi manusia dari Verisk Maplecroft, Sofia Nazalya.

“Saat banyak buruh terpaksa bekerja di sektor informal, mereka akan menghadapi ancaman eksploitasi di tempat kerja, beberapa di antaranya dapat berujung ke kondisi kerja paksa,” terang dia lewat surat elektronik ke Thomson Reuters Foundation.

Buruh garmen di Asia merupakan pemasok pakaian untuk sejumlah merek adibusana dunia. Namun, banyak dari mereka yang kehilangan pendapatan sampai 5,8 miliar dolar AS (sekitar Rp85,5 triliun), terang organisasi non profit Clean Clothes Campaign bulan lalu.

Para pekerja garmen itu kehilangan penghasilan karena pandemi mendorong toko-toko tutup sehingga banyak pesanan dibatalkan.

Sekitar 60 juta orang bekerja di industri garmen Asia dan turunnya angka penjualan menyebabkan mereka terancam kehilangan pekerjaannya.

Para pekerja yang diberhentikan lebih rentan terjebak dalam praktik kerja eksploitatif. Ada pula kemungkinan mereka akan memaksa anak-anaknya untuk bekerja, kata sejumlah analis.

“Meskipun mereka bertahan di tempat kerja yang sama, kondisinya bisa lebih eksploitatif,” kata Sekretaris IndustriALL Global Union untuk Kawasan Asia Selatan, Apoorva Kaiwar.

IndustriALL Global Union merupakan serikat yang menaungi buruh dari 140 negara.

“Anggota kami melaporkan adanya pemotongan gaji di tempat kerjanya serta penghapusan beberapa tunjangan, misalnya uang transportasi dan kupon subsidi makanan. Untuk korban pemecatan, mereka tidak dapat mendapatkan pekerjaan dengan upah dan tunjangan yang sepadan,” jelas Kaiwar.

Perusahaan yang menggunakan jasa pabrik garmen kesulitan melakukan audit terkait praktik kerja layak karena adanya pembatasan perjalanan serta kebijakan pembatasan selama pandemi, jelas indeks Perbudakan Modern itu.

Indeks tersebut dibuat untuk memetakan risiko yang dihadapi pekerja dan pelaku bisnis selama pandemi.

“Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya, banyak perusahaan dalam beberapa tahun terakhir lebih khawatir saat merek mereka dikaitkan dengan praktik perbudakan modern,” kata Nazalya.

Sumber: Reuters

Baca juga: Hari Buruh, dunia usaha harap dukungan stimulus bisa bantu pekerja
Baca juga: Koordinator PBB apresiasi pemberdayaan perempuan di Ungaran Garmen
Baca juga: Memberdayakan pekerja perempuan Ungaran melalui Program "Better Work"


Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2020