Selain ventilator, kita punya alat proteksi ultraviolet yang dapat mematikan virus yang dibutuhkan bagi pekerja kesehatan
Jakarta (ANTARA) - Perang terhadap virus corona sudah memasuki bulan keenam sejak awal penularan terhadap dua warga Kota Depok (Jawa Barat) yang tertular dari warga Jepang saat  ke Indonesia.

Sejak saat itu berbagai upaya penanggulangan terhadap generasi ketiga virus corona itu terus dilakukan. Seperti diketahui COVID-19 atau dikenal juga SARS CoV-2 merupakan generasi ketiga setelah virus corona lainnya yang dikenal sebagai SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome).

SARS dan MERS atau dikenal sebagai flu burung meski pernah masuk ke Indonesia namun tidak menimbulkan masalah. Sedangkan virus Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menjadi problem sampai saat ini karena daya sebarnya yang luar biasa serta sampai sekarang belum ada obat yang secara resmi dapat menyembuhkan virus ini.

Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional yang terlibat dalam penanggulangan COVID-19 seolah berlomba dengan waktu untuk membantu penyediaan alat kesehatan, alat pelindung diri serta obat-obatan agar tidak semuanya bergantung terhadap impor.

Menristek Bambang Brodjonegoro mengakui saat ini harus berlomba dengan waktu untuk mengembangkan vaksin COVID-19 mengingat kondisi ekonomi yang tertekan akibat wabah ini tidak bisa terus-menerus ditahan.

Bambang mengatakan pemerintah mendorong agar ekonomi dapat terus tumbuh di tengah new normal. Ekonomi tetap dapat terus berjalan namun harus dengan berbagi penyesuaian protokol kesehatan yang sangat ketat.

Namun mengingat ekonomi Indonesia terhubung dengan ekonomi dunia yang juga tertekan akibat COVID-19 membuat ekonomi dalam negeri ikut terkontraksi yang ditandai turunnya pendapatan sehingga konsumsi masyarakat juga ikut turun. Padahal konsumsi masyarakat ini menjadi pendorong utama agar ekonomi nasional dapat terus bertumbuh.

Bukan hanya Indonesia, COVID-19 ini juga memberikan dampak terhadap semua negara di dunia termasuk negara maju sekalipun. Bahkan pemerintahan Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Rusia, Jepang serta China (tempat COVID-19 berasal) kewalahan menghadapi penyebaran virus ini.

Mengingat belum ada vaksin dan obat yang efektif agar penderita yang terinfeksi dapat disembuhkan maka setiap negara saat ini berlomba-lomba melakukan riset terhadap COVID-19. Sejak kasus pertama COVID-19 masuk ke Indonesia bulan Maret 2020, Pemerintah Indonesia juga telah melakukan riset terhadap virus ini.

Apalagi dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia membutuhkan lebih banyak peran riset. Pemerintah pun telah mendorong peran tiga unsur atau disebut sebagai Triple Helix dalam penanggulangan COVID-19.

Tiga unsur itu meliputi perguruan tinggi, dunia usaha dan pemerintah agar bersama-sama ikut terlibat dalam pengembangan riset COVID-19.

Baca juga: KemenBUMN paparkan proses produksi vaksin Sinovac oleh Bio Farma
Baca juga: Erick: Vaksin COVID beredar 2021, protokol kesehatan tetap penting


Penting
Riset terhadap COVID-19 memiliki peranan penting agar Indonesia tidak terlalu bergantung kepada impor. Gambaran ini tercermin di tahun 2019 alat pacu jantung dan ventilator sebagian besar masih impor.

Begitu juga dengan bahan baku obat 95 persen masih didatangkan dari luar negeri. Namun dengan kolaborasi tiga unsur ini saat Indonesia telah berhasil memproduksi ventilator sendiri, termasuk alat uji (testing) COVID-19 dengan akurasi tinggi, termasuk teknologi plasma dari darah penderita yang sembuh.

Bambang menyebutkan Indonesia sudah memiliki 61 produk untuk menghadapi COVID-19. Produk-produk itu sudah melalui serangkaian pengujian dengan laboratorium berstandar tinggi.

"Selain ventilator, kita punya alat proteksi ultraviolet yang dapat mematikan virus yang dibutuhkan bagi pekerja kesehatan," kata Bambang.

Bambang juga akan mendorong agar riset terhadap vaksin dapat dipercepat meskipun tidak mudah untuk pelaksanaannya. Indonesia diperkirakan membutuhkan 250 juta ampul dan kalau dua kali penyuntikan bisa 500 juta ampul.

Dengan volume sebanyak ini tentunya Indonesia tidak bisa bergantung kepada negara lain. Karena itu harus ada kemandirian.
Peluang di tengah pandemi melalui aplikasi belajar bagi anak-anak. (ANTARA/Ganet Dirgantoro)

Bambang mengatakan butuh kemandirian untuk menghadirkan vaksin. Saat ini sudah ada kerja sama Biofarma Bandung dengan Sinovac yang diperkirakan dapat diaplikasikan awal 2021 setelah melalui serangkaian proses pengujian.

Sebagai gambaran, kalau targetnya satu juta setiap hari, berarti dibutuhkan 1.000 tenaga penyuntik. Itu berarti satu orang harus dapat menyuntik lebih dari satu orang dalam satu menit.

Peran Akademisi
Bambang Brodjonegoro dalam webinar bertajuk "Riset Dan Inovasi Selama Masa New Normal" yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi-Indonesia Banking School (STIE-IBS) mengatakan peran akademisi sangat penting untuk menghadapi dampak pandemi COVID-19.

Perguruan tinggi dapat melaksanakan riset melibatkan pemerintah dan swasta dalam bidang ekonomi. Di antaranya bagaimana caranya untuk memberdayakan perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang banyak tumbuh di tengah pandemi.

Perusahaan-perusahaan berbasis teknologi digital saat ini justru melihat adanya peluang bisnis dengan sulitnya pembeli dan penjual untuk saling berinteraksi. Sektor-sektor seperti ini seharusnya mendapat dukungan pembiayaan.

Bambang melihat penting juga dilakukan riset pengembangan bisnis di tengah COVID-19 yang tentunya dengan dukungan permodalan.

Ketua STIE-IB Dr Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono, SH, LLM mengatakan pandemi COVID-19 telah menuntut perguruan tinggi melaksanakan penelitian atau riset untuk mencari inovasi dalam menghadapi COVID-19.

Menurut Kusumaningtuti, konsep riset adalah mencari sesuatu yang baru yang selama ini belum ada. Sedangkan konsep inovasi adalah sebagai penemuan sesuatu yang baru dan relevan.

"Jadi riset dan inovasi sebenarnya dua hal yang tidak bisa dielakkan terutama bagi sivitas akademika di perguruan tinggi dan lembaga riset lainnya di tengah pandemi sekarang," kata Kusumaningtuti.

Baca juga: Eijkman: Pengembangan vaksin Merah Putih sudah 50 persen selesai
Baca juga: Menristek: Lima institusi kembangkan Vaksin Merah Putih
Pekerja tengah menjalani testing COVID-19 massal. (HO/AEON)

Kusumaningtuti menyatakan kesiapannya untuk memberikan dukungan riset terutama dalam upaya pemerintah mengatasi pelemahan ekonomi di Indonesia. Ada dua cara untuk mengatasi persoalan akibat COVID-19, yakni dari segi kesehatan saat serangan COVID-19 harus segera ditangani maupun dari segi ekonominya.

Kepala LLDikti Wilayah III Provinsi DKI Jakarta Prof Agus Setyo Budi mengatakan peran perguruan tinggi untuk melaksanakan riset dalam menghadapi COVID-19 seharusnya tidak terganggu dengan kebijakan pembatasan pada new normal sekarang.

Menurut dia, adaptasi kebiasaan baru dengan menerapkan protokol kesehatan menjadi faktor penting dalam mendorong peran akademisi menghadapi COVID-19.

Agus mengatakan, perguruan tinggi harus cepat beradaptasi sekaligus melakukan inovasi untuk memberikan kontribusi menghadapi COVID-19.

Dengan demikian dalam menghadapi COVID-19 ini tidak bisa masing-masing pihak jalan sendiri-sendiri. Kolaborasi pemerintah, perguruan tinggi, sektor usaha sangat dibutuhkan tidak hanya di sisi kesehatan saja, tetapi juga inovasi di bidang bisnis sudah sangat mendesak.

Seperti disebut Bambang Brodjonegoro saat ini Indonesia tengah berkejaran dengan waktu, yakni vaksin dan obat COVID-19 serta tekanan ekonomi. Peran tiga unsur ini sangat penting agar negeri ini bisa segera mengakhiri wabah berkepanjangan ini.
Baca juga: Vaksin Merah Putih diharapkan bisa diproduksi triwulan III/2021
Baca juga: Menristek: Vaksin merah putih uji klinis awal tahun depan

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020