Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi Arianto Patunru mengatakan polemik RUU Cipta Kerja sebenarnya dapat dihindari apabila melihatnya dari perspektif atau kaca mata pencari kerja.

"Selama ini yang banyak didengar hanya pendapat dari pekerja, seharusnya pendapat dari pencari kerja juga mendapat tempat yang sama," kata ekonom Australian National University ini dalam keterangan tertulis yang disampaikan di Jakarta, Ahad.

Berbicara dalam diskusi "Menyoal konflik dalam RUU Cipta Kerja dan Dampaknya bagi Segala Sektor” yang diselenggarakan Forum Mahasiswa Ciputat, Arianto mengatakan apabila aturan ketenagakerjaan hanya dilihat dari sisi pekerja saja, maka yang dipikirkan hanyalah bagaimana memaksimalkan kepastian kerja (job security) bagi para pekerja.

“Supaya masyarakat mudah mendapat pekerjaan maka kita perlu masuk dalam cara pandang pihak yang membutuhkan tenaga kerja, yakni pelaku usaha. Kita perlu menggunakan kaca mata mereka,” kata Ketua Australian National University (ANU) Indonesia Project ini.

Pada sisi pekerja, menurut Arianto  terdapat beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah  gaji, berapa lama pekerja itu bisa bekerja serta tunjangan. Misalnya pada aspek kesehatan, rumah dan seterusnya.

Besarnya pesangon adalah salah satu persoalan yang banyak dikeluhkan oleh banyak pengusaha. Ini membuat iklim investasi kurang ramah bagi para pelaku usaha untuk menanamkan modalnya.

Tingkat pesangon di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Lebih tinggi dari negara-negara tetangga.

"Tinggi dalam pengertian jumlah bulan gaji untuk pesangon,” kata Arianto.

Arianto mengatakan dari hasil studi yang pernah dilaksanakan di kawasan industri Jakarta Timur terungkap bahwa mayoritas pengusaha bukan lagi mempersoalkan masalah upah dalam aktivitas bisnisnya tetapi bagaimana merekrut dan memberhentikan karyawan.

Arianto melihat juga ada persoalan pada aspek kompensasi pada para pekerja. Karena itu, dia mengusulkan agar dalam RUU Cipta Kerja, jumlah pesangon dikurangi, tetapi perlu ditetapkan unemployment benefit atau tunjangan pemutusan hubungan kerja yang layak.

Baca juga: Bahlil: RUU Cipta Kerja jadi "karpet merah" semua investor
Baca juga: UI: RUU Cipta Kerja harus atur dan lindungi UMKM
Perajin menyelesaikan perabot berbahan rotan di Pasar Minggu, Jakarta, Minggu (13/9/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc. 
Pengajar pada Crawford School of Public Policy, ANU, ini menyimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja sudah bagus karena berusaha melihat persoalan secara keseluruhan.

"Sehingga di sana ada ruang negosiasi. Ada severance payment sangat tinggi, tapi job security kurang; tunjangan pekerja dan kemudahan mendapatkan asuransi seperti BPJS kurang jelas,” kata dia.

Arianto menambahkan bahwa seharusnya pembahasan tentang RUU Cipta Kerja juga lebih difokuskan pada kepastian berusaha.

“Akhir tahun 2019, Pak Presiden sampai kecewa karena dari 33 perusahaan hengkang dari China, tak ada satu pun yang ke Indonesia. Itu karena mereka lebih memilih Vietenam, Thailand dan negara-negara tetangga lain, yang kepastian berusahanya lebih baik dan sistemnya lebih transparan daripada Indonesia,” katanya.

Menurut Arianto, ide dasar dari RUU Cipta Kerja adalah menyederhanakan peraturan sehingga memudahkan urusan bisnis.

“Dampak dari penyederhanaan aturan itu salah satunya adalah investasi semakin bertambah dan iklim berbisnis jadi lebih baik dari sebelumnya,” tegas Arianto.
Baca juga: Anggota DPR kritisi perubahan UU Penyiaran dalam RUU Cipta Kerja
Baca juga: Mewujudkan iklim berusaha yang longgar bagi UMKM

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020