Proyeksi pemerintah memang realistis karena disrupsi ekonomi akibat pandemi COVID-19 masih terus terjadi dan dirasakan masyarakat
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan Indonesia perlu memfokuskan upaya dan menjalankan kebijakan yang berorientasi kepada pemulihan ekonomi.

Dalam rilis di Jakarta, Jumat, Pingkan mengatakan sesuai RAPBN 2021, terdapat empat tujuan utama dari arah kebijakan fiskal yang diartikulasikan ke dalam anggaran pendapatan dan belanja oleh Kementerian Keuangan yang tujuan besarnya adalah untuk memulihkan perekonomian nasional.

Pada minggu kedua pascapemberlakuan PSBB jilid kedua di Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Keuangan menyampaikan data terbaru mengenai proyeksi pertumbuhan perekonomian Indonesia pada 2020 yakni pada level -1,7 persen hingga -0,6 persen.

Baca juga: Kemenkeu: Dampak PSBB Jakarta pada ekonomi tidak besar

Sedangkan pada Q3 diprediksi akan berada pada kisaran -2,9 persen hingga -1 persen.

Dengan demikian, Indonesia akan mengalami resesi setelah sebelumnya pada Q2 terkontraksi -5,32 persen.

"Pertumbuhan ekonomi di Q3 akan negatif sebagaimana Q2 dan sudah diprediksi oleh banyak pihak, terutama melihat beberapa hal yang secara tidak langsung memicu perlambatan ekonomi, seperti terus bertambahnya jumlah pasien COVID-19, implementasi kembali PSBB di DKI Jakarta, dan belum pulihnya kegiatan ekspor dan impor karena dampak negara lain yang juga sedang membenahi kondisi domestiknya pasca-COVID-19 atau justru masih dalam keadaan yang kurang lebih sama dengan Indonesia," jelas Pingkan.

Ia menilai proyeksi pemerintah memang realistis karena disrupsi ekonomi akibat pandemi COVID-19 masih terus terjadi dan dirasakan masyarakat.

Ditambah dengan kebijakan PSBB yang kembali diberlakukan dan membatasi mobilitas sosial serta transaksi ekonomi secara langsung bagi banyak sektor usaha.

Walaupun demikian, proyeksi untuk tahun depan jauh lebih baik, mengacu pada RUU APBN 2021, proyeksinya berada pada kisaran 4,5 persen hingga 5,5 persen.

Hal ini pun senada dengan perkiraan yang disampaikan beberapa institusi internasional seperti ADB dengan 5,3 persen, OECD di kisaran 5 persen hingga 6 persen, dan IMF dengan 6,1 persen.

"Walaupun demikian, proyeksi ini perlu disambut dengan langkah-langkah bijak dari berbagai pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun  masyarakat memiliki peranan masing-masing. Di tengah pandemi yang kita hadapi saat ini, tentu saja masalah utamanya berakar dari tingkat penyebaran dan kasus positif COVID-19," tegasnya.

Menurut dia, untuk memulihkan ekonomi sangat penting bagi seluruh pihak untuk memusatkan perhatian pada pencegahan dan penanggulangan kasus pandemi COVID-19.

Sebagai salah satu bentuk upaya pemulihan ekonomi, Pingkan mengimbau masyarakat sebisa mungkin dapat menjalankan kegiatannya dari rumah, jika memang harus melakukan aktivitas di luar harus diikuti dengan protokol kesehatan yang ketat dan sesuai anjuran.

Pelaku usaha pun dituntut beradaptasi dengan kondisi yang serba terbatas ini. Inovasi kegiatan maupun produk sangat diperlukan, utamanya melihat keterbatasan mobilitas dan juga interaksi langsung.

Ia menambahkan, opsi transaksi secara digital dapat menjadi pilihan untuk dieksplorasi.

Sedangkan untuk pemerintah, langkah pencegahan dan penanggulangan kasus COVID-19 perlu diimbangi dengan pemberian bantuan dan jaminan sosial bagi masyarakat dan pelaku usaha, utamanya yang tergolong rentan.

Bantuan subsidi gaji, bantuan sosial berupa paket sembako maupun uang tunai, serta kemudahan kredit bagi para pelaku usaha menjadi opsi-opsi yang dapat terus dioptimalkan dengan melakukan evaluasi secara berkala, pendataan yang teratur dan transparan, serta sosialisasi yang jelas kepada seluruh lapisan masyarakat.

Baca juga: Kemenkeu: Kita sudah resesi, perlambatannya sudah mulai kuartal I
Baca juga: Ketua Komisi XI DPR yakin dampak resesi RI tak akan berkepanjangan


Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020