Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Anggaran DPR RI, Sukamta memandang Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun 2021 perlu fokus mengatasi pandemi dan dampaknya secara sosial ekonomi.

"Di dalam RUU APBN 2021 alokasi anggaran Kesehatan sebesar Rp169,7 triliun atau 6,2 persen dari total Belanja Negara sebesar Rp2.750 triliun yang terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp130,7 triliun dan Transfer ke Daerah sebesar Rp39,1 triliun. Anggaran ini rasanya belum memadai dengan melihat risiko pandemi yang masih besar," kata Sukamta dalam rilis, Sabtu.

Menurut dia, masih banyak ahli epidemiologi yang menyatakan karena penanganan COVID-19 yang masih lambat hingga saat ini, diperkirakan puncak pandemi baru akan berlangsung di tahun 2021.

Dengan prediksi seperti ini, masih menurut Sukamta, sangat wajar jika RUU APBN 2021 perlu mengalokasikan belanja yang cukup di sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi utamanya untuk membantu pelaku usaha kecil dan UMKM.

Baca juga: Pimpinan MPR apresiasi komitmen presiden perkuat ketahanan pangan

Ia berpendapat bahwa pemerintah juga jangan hanya andalkan jurus pengadaan vaksin untuk atasi pandemi, karena banyak ahli katakan vaksin bukan satu-satunya cara.

"Artinya selain untuk atasi COVID-19 juga perlu anggaran kesehatan yang memadai untuk peningkatan dan perbaikan sistem dan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), peningkatan sarana prasana kesehatan, dan kapasitas tenaga kesehatan," ucap Sukamta.

Pemerintah, lanjutnya, harus pula memberikan alokasi yang memadai untuk atasi dampak pandemi secara sosial ekonomi, mengingat antara lain perkiraan angka pengangguran terbuka pada tahun 2021 mencapai 7,7-9,1 persen sementara tingkat kemiskinan meningkat antara 9,2-9,7 persen.

“Dampak pandemi bisa jadi akan mencapai puncaknya pada tahun 2021, kondisi ini akan terasa semakin berat bagi warga miskin dan juga pelaku usaha kecil. Maka harus ada skema anggaran yang mamadai untuk jaring pengamanan sosial, akses pendidikan, dan pemulihan UMKM," papar Sukamta.

Sebelumnya, pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (Core) Muhammad Faisal menilai struktur RAPBN 2021 dengan defisit 5,7 persen, cukup realistis.

Di sisi lain, ujar Faisal, anggaran kesehatan perlu diperbesar dan digenjot realisasinya karena kebutuhan penanganan pandemi masih tinggi pada tahun depan.

"Saya perkirakan baru pada 2021 (mulai mereda), tapi itu belum langsung, perlu waktu, mudah-mudahan semester kedua, artinya konsekuensi belanja pemerintah untuk penanganan COVID tetap harus besar," katanya di Jakarta, Senin (21/9)

Baca juga: Apindo nilai target pertumbuhan ekonomi 2021 terlalu ambisius

Pemerintah, lanjut dia, perlahan mengurangi defisit dari tahun ini mencapai 6,34 persen menjadi 5,7 persen karena ketidakpastian akibat pandemi COVID-19 masih tinggi pada 2021.

Toleransi defisit melebar karena pandemi virus corona ini akan berlangsung hingga 2022 dan akan kembali dalam batas maksimal sesuai amanat UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar tiga persen.

Direktur Eksekutif Core Indonesia ini mengharapkan pelebaran defisit itu diarahkan optimal salah satunya dalam penanganan pandemi COVID-19.

Namun, dalam RAPBN 2021, anggaran kesehatan menurun dari Rp212,5 triliun sesuai Perpres 72 Tahun 2020 menjadi Rp169,5 triliun, meski secara persentase nominal itu mencapai 6,2 persen dari RAPBN atau melebihi dari amanat undang-undang sebesar lima persen.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020