Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Iswandi Syahputra menuturkan tidak semua layanan over the top (OTT) berbasis internet menyediakan layanan siaran dan hanya layanan media audio visual nonlinear atau video on demand (VOD) yang dinilai perlu untuk diatur oleh negara guna memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tayangan-tayangan negatif.

"Oleh karena video OTT dalam bentuk VOD adalah konten siaran maka perlu ada pihak yang mengaturnya. Bahkan saya menyebut negara mutlak harus melakukan pengaturan atau memberikan perlindungan kepada publik dari tayangan-tayangan yang negatif," katanya secara virtual dalam sidang pengujian Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis.

Jika OTT dalam pengertian VOD tidak diatur melalui sebuah sistem pengawasan yang baik, dia dapat menimbulkan moral panic. "Dan kita sudah mengalaminya beberapa kali," katanya.

Untuk itu, dalam konteks tersebut maka KPI dapat menjadi pihak yang merepresentasikan keadilan negara dalam memberikan perlindungan kepada publik, kata Iswandi Syahputra dihadirkan sebagai ahli oleh pemohon PT Visi Citra Mulia (INEWS TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).

Baca juga: Hakim MK pertanyakan penyedia layanan OTT dalam revisi UU Penyiaran
Baca juga: DPR tegaskan layanan "OTT" tak masuk UU Penyiaran
Baca juga: Pemerintah diminta segera terbitkan aturan tata kelola OTT


Ia mengatakan pengaturan tersebut, bukan untuk membatasi kebebasan warga dalam menyampaikan pendapat atau berekspresi, melainkan untuk melindungi warga Indonesia dari berbagai konten-konten negatif di internet melalui video-video dalam konteks media baru.

Ia mengatakan selain VOD, terdapat OTT penyedia layanan perpesanan seperti aplikasi chatting, Whatsapp, Facebook Messenger, kemudian video telekonferensi seperti Skype, Zoom, Google Hangout. Kemudian terdapat juga OTT penyedia video gim daring.

Ada pun dalam sidang sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut apabila layanan video melalui internet dimasukkan ke dalam penyiaran, makan masyarakat tidak lagi dapat memanfaatkan fitur siaran sejumlah media sosial. Pasalnya hanya lembaga penyiaran berizin yang dapat melakukan siaran.

Sementara RCTI dan INews TV mempersoalkan pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Para pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melaui internet turut diatur dalam UU Penyiaran.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020