Semuanya sering kita jumpai dalam kehidupan ini
Mataram (ANTARA) - Kata Ndas merupakan umpatan terkasar Bahasa Jawa yang artinya kepala. Kepala dimana tempat bernaung-nya otak yang mengatur atau mengkoordinasi gerakan, perilaku dan fungsi tubuh.

Atau di komputer, peranan otak sama processor. Kepala juga sebagai tempat pemikiran. Nah bagaimana jika banyak yang ingin menjadi kepala (banyak pemikiran)?

Hasilnya carut marut!!! semua berebutan ingin diakui pemikirannya. Sindiran terhadap realita itu tercermin dalam patung kayu karya Ade Kesuma yang dipamerkan di Bengkel Akih, Jalan Accord Nomor 10, Montong, Lombok Barat pada Minggu (4/10).

Karya patung berjudul Ndas itu hanyalah secuil dari belasan patung yang ditampilkan dalam pameran bertemakan "Pesan untuk Friedel" yang digagas bersama Republik Kucing Montong yang akrab dipanggil "Erkaem".

Bisa dikatakan kesemuanya refleksi diri manusia yang mengajak dirinya kita untuk mematut diri. Apakah sudah benar atau belum perilaku-nya?

Manusia yang tergila-gila pada cermin, cermin untuk mematut diri. Padahal cermin sesungguhnya adalah untuk melihat diri sendiri. Hingga melahirkan ungkapan sebelum menyalahkan orang lain lebih baik bercermin pada diri sendiri.

Soal cermin, dituturkan dalam "Banyak Muka, Bukan Permukaan" atau "Cermin, jangan salah berkaca yang kita tiru belum tentu bisa merubah itu".

"Semuanya sering kita jumpai dalam kehidupan ini," ucap dia.

Judul dari karya patungnya itu terbilang liar, seperti, "Imajinasi Nggap Perlu Tanya!" artinya untuk berimajinasi tidak perlu bertanya dan langsung saja dikerjakan. Terserah orang ingin berimajinasi seperti apa.

Judul "Apakah harus selalu bertumpu? Nggak Kreatif". Mungkin dimaksudkan semua orang memiliki kemampuan yang jadi pertanyaan yakni bagaimana cara mengolah kemampuan itu. Alias jangan hanya bisa membebek saja tapi harus berkreasi.

"Rampak" (Bersama-sama), "Ngumpet", atau judul bahasa Sunda "Calik dina kembang, teu baleg" (Duduk di kembang, tidak benar).

Bisa dikatakan dari seluruh karya patung yang dipamerkan itu, mengungkapkan kegelisahan dirinya selama menjalani kehidupan. Kesemuanya saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Ibarat frame demi frame film yang memiliki kesatuan alias tidak bisa dipisah-pisahkan.

Baca juga: Saat pematung Ade Kusuma "turun gunung"

Wajar, sosok Ade Kesuma mengangkat realita kehidupan itu mengingat perjalanan panjangnya dalam berkreativitas. Pameran kali ini merupakan pameran keduanya kalinya di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, setelah 30 tahun meninggalkan hiruk pikuk kekaryaan seni rupa.

Sebelumnya, ia menggelar pameran tunggal-nya yang berjudul "PAMULUNGAN" pada 15-21 Juli 2020 di Galeri Gudang ERKAEM yang dikenal sebagai "markas" gerakan Diam-Diam Seni Rupa (DDSR), Lombok Barat.

Dirinya selain pengalaman mendesain perhiasan perak digeluti-nya semasa kejayaan pariwisata di Senggigi, masa lalu nya dipenuhi juga dengan pengalaman estetika berkesenian-nya di Eropa meninggalkan beberapa karya seni di Negeri Jerman.

Sebagai pemuda kelahiran Bandung tahun 60-an dan berambut panjang terurai yang semasa kecilnya pernah merasakan sejuknya tinggal di kawasan kebun teh Gunung Malabar di selatan Kota Bandung serta kemudian berpindah-pindah ke berbagai tempat di Jawa Barat.

Membuat Kang Ade yang beristrikan Inge, asal Jerman ini memiliki banyak mimpi yang akhirnya terwujud menemukan ruang-ruang berimajinasi menghasilkan banyak karya patung kayu kontemporer-nya di kawasan Batulayar Lombok Barat.

Ia mengaku dirinya belajar memahat itu secara otodidak sejak usia 12 tahun saat dirinya masih tinggal di Kota "Paris van Java".

Ajaran ayahandanya, "bahwa kamu (Ade) harus berbuat sesuatu alias tidak boleh menyatakan jenuh". Menjadi pemecut dirinya untuk terus berkreativitas.

"Sekarang sangat terasa, didikan orang tua saya dahulu," tutur-nya.

Dirinya sejak muda sudah berkelana antara Pulau Bali dan Pulau Lombok hingga menyimpan imajinasi liar-nya yang sangat banyak untuk berkreativitas dalam seni patungnya.

"Karya Ade Kusuma ini menyegarkan, dan makna karyanya sangat mendalam," kata penggagas komunitas Erkaem, Ary Juliant.

"Cara penggalian seninya sering (dia) bilang senang konsep pemulungan (mengumpulkan) apa saja yang ditemuinya," ujarnya.

Sementara itu, pegiat seni di Pulau Lombok, Eko Wahono menyebutkan patung yang dipamerkan karya Ade Kusuma itu ibarat oase kebudayaan di tengah pandemik jumut.

"Karya Kang Ade membuat ruang sendiri dan menjadi terobosan estetika," katanya.

Ia juga menyebutkan patung yang dipamerkan karya Kang Ade itu unik karena menampilkan lebih dari satu karya sehingga menciptakan dialektika.

Maksudnya, kata dia, satu karya harus utuh menciptakan sinergi atau harus saling berkaitan. "Itu patung karya Kang Ade yang dipamerkan saat ini," tukas-nya.

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020