Dimensi kedua dari reformasi pajak adalah adanya fungsi pajak sebagai alat fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memaparkan dua dimensi yang tidak terlepas dari upaya pemerintah membuat terobosan kebijakan dalam rangka melakukan reformasi perpajakan untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju.

"Terobosan kebijakan harus dicari yang memungkinkan transformasi ekonomi dan mendorong Indonesia maju ke depan. Terobosannya di reformasi perpajakan dan itu tidak bisa lepas dari dua dimensi," katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Senin.

Baca juga: Sri Mulyani perkirakan penerimaan perpajakan turun 15 persen

Suahasil menyebutkan dimensi pertama yaitu reformasi perpajakan dilakukan dalam rangka mengumpulkan pendapatan negara yang pada akhirnya digunakan untuk belanja baik pemerintah pusat maupun daerah.

Oleh sebab itu, ia menuturkan pemerintah perlu melakukan reformasi perpajakan untuk menyederhanakan administrasi, memperbaiki mulai dari teknologi informasi (TI) dan sumber daya manusia (SDM), hingga aturan, serta memperkuat coretax.

"Fungsi reformasi pajak untuk mengumpulkan pendapatan tidak boleh hilang karena semakin hari ingin diperkuat," ujarnya.

Dimensi kedua dari reformasi pajak adalah adanya fungsi pajak sebagai alat fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ia menjelaskan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi karena dalam reformasi pajak juga terdapat mengenai penciptaan insentif sehingga dapat menarik investor untuk berinvestasi ke Indonesia.

"Kalau kita buat insentif, kita tidak gebyak uyah. Salah satu memastikan insentif pajak bisa dipertanggungjawabkan adalah membuat estimasi. Berapa tax expenditure-nya sehingga dapat bermanfaat untuk perekonomian," jelasnya.

Menurutnya, kebijakan-kebijakan dalam reformasi pajak turut bertujuan untuk membuat Indonesia menjadi negara yang lebih kompetitif ke dunia internasional.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu melanjutkan penerimaan negara dari reformasi perpajakan harus tumbuh minimal secepat ekonomi nominal.

Ia mencontohkan kalau ekonomi tumbuh 5 persen riil, inflasi 3 persen, dan perekonomian nominal 8 persen, maka pertumbuhan penerimaan pajak adalah minimal 8 persen.

"Kalau ekonomi tumbuh 8 persen, maka penerimaan perpajakan harusnya 8 persen. Di banyak negara justru lebih jauh di mana pertumbuhan penerimaan perpajakan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nominalnya," tegasnya.

Febrio menambahkan insentif perpajakan yang diberikan oleh pemerintah harus benar-benar mampu mendorong perekonomian yang dapat juga terlihat dari ketersediaan lapangan kerja dan investasi baru.

Ia menyebutkan pemerintah telah memberikan banyak insentif perpajakan pada tahun lalu dengan estimasi mencapai Rp257,2 triliun atau 1,62 persen dari PDB.

"Jadi, kalau tax ratio kita tahun ini bisa di sekitar 8 persen, biasanya 10 persen, maka 1,62 persen itu dari PDB," ujarnya.

Baca juga: Kemenkeu: Basis pajak perlu reformasi untuk dongkrak penerimaan negara
Baca juga: Anggota DPR: Maksimalkan basis perpajakan untuk kurangi defisit

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020