Jakarta (ANTARA) - Suasana di ujung timur Indonesia, tepatnya di Bumi Cenderawasih, Papua, tidak bisa dilepaskan dari beberapa kasus konflik dan kekerasan yang terjadi.

Sejak Papua masuk menjadi wilayah Indonesia melalui Resolusi PBB Nomor 2504 tahun 1969 pascadiadakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), konflik seakan menjadi teman yang tidak mau berpisah di Papua. Konflik-konflik ini umumnya didalangi oleh oknum-oknum yang tidak puas karena Papua masuk ke wilayah Indonesia, kemudian bergerilya untuk melawan negara dengan bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM).

OPM ini bukanlah satu organisasi saja, namun terdapat banyak faksi gerakan separatis yang intinya ingin memerdekakan diri dari wilayah NKRI.

Gerakan separatis ini menggunakan segala cara, baik fisik maupun non-fisik, untuk melahirkan negara sendiri yang terpisah dari Indonesia. Keberadaan mereka bahkan sudah ada sebelum Pepera, yaitu saat Perjanjian New York menghasilkan kesepakatan bahwa pemerintahan transisi di Papua pasca-Belanda hengkang akan diberikan kepada pemerintah Indonesia selambat-lambatnya tahun 1963.

Untuk itulah, upaya untuk mewujudkan damai di Papua terus dilakukan, termasuk dengan belajar teori Damai Positif dari Johan Galtung.

Baca juga: Mahfud rekomendasikan aparat isi daerah Papua yang masih kosong

Baca juga: Tokoh Papua apresiasi pemerintah dalam tangani kasus Intan Jaya


Sejarah Konflik di Papua

Sekalipun cukup banyak konflik, termasuk konflik bersenjata terjadi di Papua, berikut adalah beberapa peristiwa yang bisa dirangkum untuk menceritakan sejarah konflik di Bumi Cenderawasih tersebut. Perlawanan bersenjata OPM pecah untuk pertama kalinya pada 26 Juli 1965 di Manokwari.

Menurut laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul "The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement", kegiatan penambangan Freeport pada 1973 memicu aktivitas militer OPM di wilayah Timika (Widadio & Latief, 2019). Pada Mei 1977, sekitar 200 gerilyawan OPM menyerang Freeport dan direspons dengan operasi militer, terutama di Desa Amungme.

Kawasan Freeport dulunya merupakan tanah adat suku Amungme dan Komoro yang merupakan penduduk asli di wilayah tersebut.

Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk dalam buku "Menggugat Freeport" menyebutkan 60 orang suku Amungme menjadi korban kekerasan militer dalam insiden itu. Kasus-kasus lain juga kerap bermunculan. Contohnya, adalah kasus Wasior pada 2001 dan kasus Wamena pada 2003 yang lagi-lagi disebabkan konflik aparat dengan warga setempat.

Gerakan separatis, yang sekarang juga identik dengan istilah kelompok kriminal bersenjata, menuduh pemerintah (aparat keamanan) telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, tindakan mereka adalah makar yang melawan hukum nasional, alias melawan Pancasila dan UUD 1945.

Selanjutnya, gelombang kekerasan yang terjadi sekitar akhir tahun 2019 mengakibatkan delapan orang sipil tewas di Deiyai dalam kerusuhan pada 28 Agustus 2019. Kemudian, kerusuhan lain terjadi pada 26 September 2019 mengakibatkan 33 orang tewas di Wamena dan empat orang tewas di Jayapura.

Tragedi mengenaskan lainnya terjadi pada 2 Desember 2018 yang menewaskan 31 pekerja proyek jalan raya Trans Papua tewas ditembaki di wilayah Nduga oleh kelompok bersenjata Papua pimpinan Egianus Kogoya (Widadio & Latief, 2019).

Peristiwa itu dijawab dengan operasi militer di wilayah Nduga. Amnesty International Indonesia mencatat 182 warga sipil Nduga meninggal dalam pelarian diri, setelah kampung mereka didatangi aparat keamanan yang memburu kelompok Egianus.

Gerakan separatis menuduh aparat keamanan yang membuat warga sipil sampai kehilangan nyawa, padahal tugas mereka adalah menangkap para pengacau keamanan tersebut. Justru tokoh pro-kemerdekaan Papua, yang diduga sering menjadi dalang kerusuhan di Bumi Cendrawasih.

Baca juga: Ketua MPR: UU Otsus Papua harus ditempatkan sebagai "lex specialis"

Baca juga: MPR For Papua komitmen bantu pemerintah selesaikan persoalan


Damai Positif

Berapa fakta kekerasan tersebut, tentu masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan kenyataan kasus-kasus konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua selama ini. Untuk itu, kita harus belajar bagaimana mencegah supaya konflik-konflik tersebut tidak berulang. Mengapa mencegah, bukannya lebih baik menghilangkan konflik? Konflik tidak mungkin dihilangkan. Ia akan selalu ada di setiap peradaban manusia manapun, dan tidak akan pernah selesai.

Eksistensi manusia sangat bergantung pada kemampuannya mengelola konflik. Untuk bisa mengelola, sampai meresolusi konflik, maka fokus perhatian harus diarahkan pada analisa perilaku manusia dan lingkungannya (Indrawan, 2019).

Sebelum mempelajari bagaimana mewujudkan damai positif di Papua, mari kita lihat terlebih dahulu apa yang disebut dengan kekerasan. Mengapa kekerasan perlu kita pahami? Hal ini karena umumnya konflik dan kekerasan bersifat setali tiga uang, alias hampir selalu berjalan seiringan. Bahkan, kekerasan tidak selalu identik dengan fisik. Untuk itu, ada tiga jenis kekerasan, yaitu kekerasan secara langsung, struktural, dan kultural.

Pakar Studi Perdamaian Johan Galtung mengatakan, damai adalah kondisi tanpa kekerasan yang bukan hanya bersifat personal atau langsung, tetapi juga bersifat struktural atau tidak langsung. Galtung menekankan bahwa kondisi damai adalah kondisi tanpa kekerasan dan ketidakadilan sosial di dalam masyarakat. Ia juga menyebutkan bahwa terdapat dua definisi tentang perdamaian, yaitu damai negatif dan damai positif.

Damai negatif ditandai dengan ketiadaan konflik antara kedua pihak atau lebih yang berusaha mencapai kepentingan masing-masing, ketiadaan asimetri ketakutan, dan ketiadaan perbenturan kepentingan.

Kemudian, damai positif ditandai dengan keberadaan suatu perangkat penyelesaian konflik yang bersifat non-koersif untuk mencegah timbulnya konflik. Hal ini termasuk tidak adanya kondisi-kondisi yang menekan atau menyengsarakan manusia, yang meliputi spektrum kondisi yang sangat luas, terjaminnya kebutuhan lahiriah (keamanan dari kekerasan dan kelaparan) dan batiniah (Galtung, 1996).

Oleh sebab itu, Loreta Castro berpendapat bahwa dalam kondisi damai positif, haruslah terdapat hubungan yang baik dan adil dalam semua segi kehidupan, secara sosial, ekonomi, politik, maupun ekologi. Dengan demikian, kekerasan struktural seperti kemiskinan dan kelaparan, kekerasan sosio-kultural seperti rasisme, seksisme, dan intoleransi beragama, ataupun kekerasan ekologi, seperti perusakan alam, polusi, dan konsumsi yang berlebihan menjadi sirna (Castro & Galace, 2010).

Kondisi damai positif inilah yang harus diusahakan setelah tercapai-nya damai negatif, yaitu dengan tidak adanya kekerasan langsung atau fisik, secara makro maupun mikro, seperti peperangan, penyiksaan, serta kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan.

Akan tetapi, sekalipun tidak ada kekerasan langsung eksistensi dari kekerasan struktural yang ada (damai negatif) dapat juga mengakibatkan konflik muncul kembali (re-lapse) dan perdamaian menjadi terganggu (Webel dan Galtung, 2007). Itu sebabnya kondisi damai positif di Papua harus tetap dijaga oleh seluruh anak bangsa.

Kesimpulannya, dengan membawa Papua ke arah damai positif, maka kekerasan jenis apa pun tidak akan terjadi lagi. Konflik bisa saja terjadi karena memang bagian dari siklus kehidupan manusia. Kekerasan lah yang harus dihilangkan agar kondisi damai positif pun bisa terwujud.

Alangkah indahnya jika kondisi damai positif bisa terjadi di Papua. Atas dasar itulah, kita harus belajar mencegah konflik agar tidak berkembang menjadi kekerasan. Semua pihak rela hati menjadi air yang memadamkan bara konflik.

*) Heddy Lugito, Wartawan senior mantan Sekjen Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat.

Copyright © ANTARA 2020