Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron membeberkan tujuh fenomena tindak pidana korupsi yang ditangani lembaganya selama 2020.

"Pertama, bahwa kejahatan tindak pidana korupsi itu hampir merata dari Sabang sampai Merauke, tidak membedakan partai, tidak kemudian partai A suci sementara partai lain yang khilaf, tidak. Ternyata hampir sama, tidak membedakan suku bangsa dan agama pelakunya itu," ucap Ghufron.

Hal tersebut dikatakannya saat menjadi pembicara dalam acara Anti-Corruption Summit (ACS) ke-4 Tahun 2020 yang bertemakan "Quo Vadis Pemberantasan Korupsi" digelar secara virtual melalui akun Youtube KPK, Rabu.

Fenomena kedua, ia mengungkapkan bahwa pelakunya relatif sama, yaitu dari unsur swasta, kepala daerah, anggota dewan, dan pejabat pusat maupun daerah.

"Kemudian dari "locus"-nya, "locus" yang terjadi hampir sama, yaitu suap di pengadaan barang/jasa, suap di perizinan dan sumber daya manusia. Fokus pada tiga hal ini, lainnya tersebar merata," ujar Ghufron.

Fenomena keempat, kata dia, terkait modus dalam tindak pidana korupsi, yakni suap sebanyak 66 persen dan pemerasan dan gratifikasi 22 persen.

"Metodenya juga hampir sama, yaitu pakai "cash", transfer rekening ataupun bisa juga dengan mata uang asing. Ada yang bahkan kemudian untuk suap tingkat tinggi itu bisa dilaksanakan di luar negeri tidak di Indonesia supaya tidak terendus oleh KPK ataupun aparat penegak hukum lain di Indonesia," tuturnya.

Baca juga: Telaah - Menyikapi fenomena PNS korupsi

Kemudian fenomena kelima, ucap Ghufron, bahwa dari tingkat pendidikan pelakunya 64 persen adalah sarjana.

"Ternyata harapannya berpendidikan itu kian berkarakter kian berintegritas, ternyata pelakunya 64 persen adalah sarjana "graduate" bukan tidak berpendidikan," ungkap dia.

Kemudian fenomena keenam, ia mengatakan pelaku korupsi mulai merambah kaum muda.

"Tidak hanya kaum pejabat tua tetapi juga ternyata kaum milenial ada yang masih 29 (tahun), 32 (tahun), dan lain-lain," kata Ghufron.

Fenomena terakhir, ia menyatakan tingkat demokrasi Indonesia relatif baik, namun yang terjadi tingkat korupsinya juga masih tinggi.

"Ini yang menjadi fenomena anomali, mestinya kian demokratis kian transparan maka korupsinya harapannya rendah, Indonesia dinobatkan sebagai negara kelima terbaik demokrasinya tetapi ternyata tingkat korupsinya masih tinggi," katanya.

Baca juga: PKS: Agus bisa kalahkan fenomena Aceng Fikri

Baca juga: Mandra fenomena gunung es berbagai kasus di TVRI

Baca juga: ICW ingatkan berkembangnya fenomena penangkapan ASN daerah

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020