Banjarmasin (ANTARA) - Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D menilai banyak daerah bermasalah dengan alat ukur dan pembukaan sekolah dikhawatirkan menjadi sumber ledakan kasus positif COVID-19.

"Terutama terkait dengan kriteria WHO seperti jumlah testing yang sangat rendah, jauh dari standar WHO dan positive rate yang sangat tinggi," ujar dia di Banjarmasin, Senin.

Di sebagian daerah di Indonesia, ungkap dia, ada kecenderungan semakin turunnya jumlah tes COVID-19 sejak bulan Agustus. Turunnya jumlah tes menyebabkan turunnya tambahan kasus baru di daerah-daerah tersebut. Ada kecurigaan penurunan tes PCR di berbagai daerah tersebut terkait dengan momen pilkada.

Meskipun terjadi penurunan kasus baru penduduk yang terinfeksi karena turunnya jumlah tes PCR, daerah-daerah tersebut mengalami positive rate yang sangat tinggi. Bahkan ada daerah yang angkanya di atas 40 persen dengan jumlah tes yang sangat minim merasa pandeminya sudah terkendali sehingga ingin membuka sekolah.

Baca juga: Pakar: Peta zona risiko jangan sampai bias

Baca juga: Pakar ULM: Berdayakan dokter mitra BPJS untuk vaksinasi COVID-19


"Bisa dibayangkan bagaimana risiko pembukaan pembelajaran tatap muka untuk daerah dengan kondisi seperti itu. Risiko penularan tidak hanya dapat terjadi di dalam sekolah tetapi juga di luar sekolah," paparnya.

Meskipun suatu sekolah, misalnya sudah sangat ketat dalam melaksanakan protokol kesehatan dalam proses pembelajaran, pihak sekolah tidak dapat mengontrol bagaimana risiko mobilitas guru dan murid saat berangkat dan pulang dari sekolah.

Pembukaan pembelajaran tatap muka sudah pasti akan mendorong mobilitas penduduk semakin mengarah pada situasi seperti sebelum pandemi terjadi.

Jika pada tahap awal pembukaan sekolah tatap muka misalnya diikuti oleh 10 persen murid dan guru dari tingkat dasar hingga SLTA, maka akan ada tambahan mobilitas penduduk sekitar 4,5 juta murid dan 290 ribu guru setiap hari selama hari sekolah.

Dengan demikian peningkatan mobilitas penduduk karena pembukaan pembelajaran tatap muka pada saat pandemi belum terkendali dengan alat ukur yang tidak standar memiliki risiko yang sangat tinggi.

Sedangkan mobilitas penduduk merupakan sarana atau motor penyebaran dan pertumbuhan COVID-19 yang sudah ditunjukkan oleh berbagai riset.

"Pemerintah pusat seharusnya semakin memperketat mobilitas penduduk pada saat kasus baru masih tinggi. Begitu pula mengejar peningkatan angka testing agar tercapai jumlah 1/1000 penduduk setiap pekannya di setiap daerah bukan sekadar angka agregat nasional," ujarnya.

Muttaqin mengkhawatirkan, kebijakan pembukaan sekolah tatap muka ke depannya dapat menjadi sumber ledakan kasus positif COVID-19. Kondisi ini akan menimbulkan kerugian yang lebih besar.

"Pandemi menjadi lebih panjang, lebih besar kerugian kesehatan, lebih banyak ongkos ekonomi yang harus ditanggung dan menimbulkan kelelahan psikis yang lebih panjang bagi masyarakat," ujarnya.

Baca juga: Pakar: Suspek COVID-19 jadi transmisi senyap di tengah masyarakat

Baca juga: Pakar: Waspadai transmisi COVID-19 di mal

Pewarta: Firman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020