Jakarta (ANTARA News) - Dalang dan aktor Sujiwo Tejo menilai Gesang, komponis sekaligus penyanyi keroncong yang meninggal dunia dalam usia 92 tahun pada Kamis (20/5), sebagai simbol percaya diri budaya Indonesia dalam menyelaraskan pengaruh asing menjadi ciri khas nasional.

"Musik keroncong merupakan bukti percaya diri bangsa Indonesia menyerap budaya asing dari Portugis dan Spanyol. Dalam hal ini Gesang termasuk simbol rasa percaya diri bangsa ini," katanya dalam diskusi serial bulanan (Diserbu) "Afternoon Tea: Semangat Indonesia, Kebangkitan Kebudayaan Nasional", di Jakarta, Jumat.

Diskusi yang digelar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) bersama Metro TV didukung Djarum Bhakti Budaya tersebut Tejo mengemukakan, Gesang sepanjang hidupnya sangat percaya diri untuk tetap menopang nafkah dari musik keroncong yang menggunakan gayanya sendiri.

"Keroncong di tangan Gesang memperlihatkan serapan musik asing menjadi musik nasional Indonesia yang kemudian malah mampu mendunia. Masyarakat dunia mengenal musik keroncong dari Bengawan SOlo-nya Gesang," kata mantan wartawan harian Kompas itu.

Namun demikian, Tejo menegaskan, budaya nasional Indonesia semakin tergerus pengaruh asing lantaran seniman dan generasi muda di negeri ini mengadopsi kebudayaan luar secara mentah-mentah atau menjiplak apa adanya.

"Padahal, nenek moyang kita sudah memberi contoh menerima permainan biola yang diolah menjadi rebab. Kini kebudayaan nasional lebih sering di-stigmasi sebagai sesuatu yang tradisional, bahkan kampungan sehingga tidak mendapat tempat bagi generasi muda," ujarnya.

Oleh karena itu, Tejo menegaskan, kebudayaan daerah harus diapresiasi agar menjadi hal moderen sekaligus mendorong generasi muda untuk lebih percaya diri mengembangkannya menjadi khas Indonesia. "Kreativitas budaya juga memperlihatkan keberanian bangsa untuk lebih percaya diri," katanya menambahkan.

Sementara itu, Pribadi Setiono selaku Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam diskusi tersebut mengemukakan pentingnya strategi kebudayaan nasional. "Strategi kebudayaan ini perlu mencakup pula pilihan utama bagi bangsa ini untuk memfokuskan hal apa saja yang menjadi prioritas diperkenalkan ke masyarakat dunia," ujarnya.

Selama ini, ia menilai, terlalu banyak strategi kebudayaan Indonesia dipandang sebagai komoditas, sehingga orientasinya hanya mencari keuntungan dari segi materi. "Dalam hal ini, Kemlu tahun lalu mengadakan festival batik di Solo. Hal ini membawa dampak internasional, terutama bagi wisatawan. Ternyata, masih ada sejumlah pihak yang bertanya, mengapa Kemlu yang adakan. Bagi kami ya gampang saja bahwa Kemlu harus lakukan lantaran pihak lain tidak melakukannya," katanya menambahkan.

(T.P003/B/P003/P003) 21-05-2010 22:58:18

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010