Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) siap memberikan perlindungan kepada 43 pekerja migran Indonesia (PMI) yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dari Timur Tengah.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua LPSK Antonius Wibowo terkait keberhasilan repatriasi 43 PMI yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada November lalu.

"LPSK menilai upaya yang telah dilakukan oleh Kemlu, sangat tepat serta patut diapresiasi," ujar Antonius dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

Terkait rencana perlindungan kepada 43 PMI tersebut, LPSK akan segara melakukan koordinasi dengan sejumlah lembaga. Antonius menyebutkan pihaknya siap bekerja sama dan berkolaborasi dengan pihak Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kepolisian

“Untuk BP2MI, kami sudah menandatangani nota kesepahaman pelindungan bagi pekerja migran Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang Oktober lalu,” kata Antonius

Antonius melanjutkan, lingkup nota kesepahaman yang ditandatangani di antaranya memberikan fasilitasi dan layanan perlindungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PMI yang menjadi saksi, korban, dan/atau pelapor dalam dugaan tindak pidana pengiriman PMI secara illegal.

Menurut Antonius, apabila dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian mengindikasikan adanya praktik perdagangan orang, LPSK siap memberikan perlindungan kepada PMI mulai dari rehabilitasi medis, psikologis hingga fasilitasi penghitungan restitusi.

“Jika para PMI tersebut telah menjadi terlindung LPSK, kami siap membantu aparat penegak hukum untuk memproses secara hukum perusahaan yang merekrut mereka melalui cara ilegal, sebab selama ini perusahaan sangat jarang tersentuh dan diadili dalam perkara tindak pidana perdagangan orang” ujar Antonius

Dia menambahkan, kasus TPPO menjadi salah satu kasus pidana yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena secara kuantitatif angka terlindung LPSK yang berasal dari TPPO tidaklah sedikit.

Pada tahun 2020, hingga bulan Oktober LPSK telah memberikan perlindungan kepada 263 terlindung yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.

Untuk kasus TPPO yang menimpa PMI, salah satu bentuk perdagangan orang yang terjadi adalah pekerja migran Indonesia dipekerjakan secara non prosedural.

Dalam data permohonan perlindungan LPSK, hanya 25 persen PMI yang diberangkatkan oleh agen resmi. Rentang waktu 2016 sampai dengan Juni 2020, LPSK telah menerima sebanyak 289 permohonan perlindungan PMI.

Sebanyak 57 persen dari mereka berlatar belakang pendidikan SMA, 22 persen berlatar pendidikan SD, 17 persen berlatar pendidikan SMP, dan sisanya merupakan sarjana dan diploma.

Antonius menyebut negara di kawasan Timur Tengah yang paling banyak menjadi tujuan PMI non prosedural. Sebanyak 57 pemohon dipekerjakan di Arab Saudi, sementara yang lainnya di Bahrain, Irak, Libya, Maroko, Mesir, Qatar, Somalia, Sudan, Suriah, Turki dan Uni Emirat Arab.

Menurut catatan LPSK, setidaknya ada 6 bentuk eksploitasi yang sering dialami oleh PMI di luar negeri, yakni kontrak kerja yang tidak jelas, upah yang dibayarkan tidak sesuai, kerja lembur, penjeratan hutang, konsumsi makanan tidak layak, dan tidak mendapat tempat istirahat yang layak.

Menurut Antonius, para pelaku TPPO biasanya memalsukan dokumen agar dapat mempekerjakan PMI non prosedural.

"Pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara pelaku TPPO mempermudah para korban dipekerjakan, pemalsuan dokumen tersebut meliputi KTP, paspor, dan dokumen lain yang dibutuhkan para pekerja migran ilegal" kata Antonius.

 

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020