UU Cipta Kerja ini untuk menyedehanakan tapi tidak menurunkan kualitas penilaian AMDAL. Dengan demikian, izin dan penyerapan tenaga kerja bisa lebih muda
Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi San Afri Awang, yang merupakan salah satu anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan Undang-Undang (UU) No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, menilai UU Cipta Kerja tidak menurunkan standar penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL.

“UU Cipta Kerja ini untuk menyedehanakan tapi tidak menurunkan kualitas penilaian AMDAL. Dengan demikian, izin dan penyerapan tenaga kerja bisa lebih mudah,” kata San Afri dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, selama ini waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin usaha seperti izin eksplorasi sumber daya alam (SDA) bisa sampai belasan tahun, itu karena terhambat banyak aturan dari level UU, PP sampai proses AMDAL yang lama. Panjangnya waktu mendapatkan izin AMDAL.

Rancangan Peraturan Pemerintah atau RPP Pelaksanaan UU Cipta Kerja bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bisa menyederhanakan dan mempercepat AMDAL.

Demi penyederhanaan dan kemudahan, UU Cipta Kerja memang mengintegrasikan izin lingkungan itu tidak hanya dengan izin Analisis Dampak Lalu Linlitas (Andalalin), tapi juga dengan izin mendirikan bangunan, izin usaha, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), dan izin lokasi ke dalam satu kesatuan syarat Perizinan Berusaha, melalui sistem One Single Submission (OSS).

“Pengaturan AMDAL dalam UU Cipta Kerja, secara prinsip dan konsep tidak berubah dari prinsip dan konsep pengaturan dalam ketentuan sebelumnya. Perubahan lebih diarahkan untuk penyempurnaan kebijakan dalam aturan pelaksanaannya sesuai dengan tujuan UU Cipta Kerja yang beri kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh Persetujuan Lingkungan namun dengan tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan,” kata pengamat ekonomi tersebut.

Tidak semua usaha mengharuskan persyaratan AMDAL, lanjut San Afri, karena pendekatan Persetujuan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja itu berbasis risiko. Untuk usaha berisiko rendah cukup Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk memulai usaha. Untuk berisiko menengah, wajib mendapatkan sertifikat standar dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Baru, berisiko tinggi wajib membutuhkan AMDAL.

“Kalau di aturan yang lalu (UU no. 32/2009) dikatakan, setiap usaha yang diperkirakan akan menimbulkan dampak lingkungan, wajib AMDAL. Usaha tahu, di desa, karena ada dampak lingkungan, wajib AMDAL. Dari mana duitnya? Tapi dengan UU Cipta Kerja, cukup NIB saja,” ujar San Afri.

Selain itu, dia juga menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja memiliki target mewujudkan Indonesia Emas 2045. Berdasarkan naskah akademik, target UU Cipta Kerja itu Indonesia Emas 2045, di mana tahun itu 67 persen populasi itu usia produktif. Sekarang, paling tinggi, rata-rata pendapatan per kapita 4.000 dolar AS. Targetnya pada 2045 yakni 23.000 dolar AS.

Untuk mencapai target itu harus mengubah banyak peraturan perundang-undangan. Melaui UU Cipta Kerja, Presiden Joko Widodo menginginkan agar 79 Undang-Undang, yang selama ini tumpang tindih dan menghambat pencapaian target Indonesia 2045, disinkronisasi.

Baca juga: Pemerintah optimistis UU Ciptaker akselerasi bisnis dan investasi

Baca juga: Tim Serap Aspirasi UU Ciptaker terima 37 masukan, didominasi soal UMKM

Baca juga: Wapres dorong partisipasi publik dalam Serap Aspirasi UU Ciptaker

 

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020