Katanya komitmen investasi besar, tapi realisasinya minim. Kami perlu duduk dengan mitra kami dari BKPM untuk mengevaluasi sebenarnya ada apa sih. Banyak berita gembira komitmen investasi begitu, tapi realisasinya belum ada
Jakarta (ANTARA) - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana memanggil Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk melakukan evaluasi atas capaian realisasi investasi yang dinilai masih minim.

"Katanya komitmen investasi besar, tapi realisasinya minim. Kami perlu duduk dengan mitra kami dari BKPM untuk mengevaluasi sebenarnya ada apa sih. Banyak berita gembira komitmen investasi begitu, tapi realisasinya belum ada,” kata anggota Komisi VI DPR RI Amin AK dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Menurut Amin, meski belakangan kabar soal komitmen investasi terus mengalir, ia menilai realisasinya belum nampak. Misalnya saja, komitmen investasi dari Abu Dhabi yang mencapai 22,8 miliar dolar AS atau Rp319,8 triliun pada awal 2020 lalu.

"Abu Dhabi katanya deal terbesar, tapi tidak ada realisasi. Artinya ada informasi yang dia tangkap di awal gitu, setelah mereka kunjungi dan dalami itu berbeda jauh. Ya sampai saat ini memang belum ada pernyataan batal, tapi realisasi juga belum ada," kata Amin.

Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan rencana investasi asing ke Indonesia yang cukup tinggi tidak diimbangi dengan realisasi komitmen investasi.

Ia memaparkan, investor kerap menemui berbagai hambatan untuk merealisasikan rencananya. Selain soal perizinan, lahan dan tenaga kerja, hambatan investasi juga dipicu kurang ketatnya koordinasi antara kementerian dan lembaga sertai permasalahan hubungan pemerintah pusat dan daerah.

"Hal lain yang menjadi pertimbangan investor dalam merealisasikan investasi adalah insentif pajak. Maklum, di tengah kompetisi antar negara dalam memperebutkan investasi, insentif pajak akan menjadi pemanis untuk menambah daya tarik suatu negara. Apalagi, negara-negara jiran tergolong royal dalam menggelontorkan insentif fiskal demi menarik investasi," jelasnya.

Itu sebabnya, menurut Yusuf, pemerintah perlu juga mempertimbangkan pemberian insentif berdasarkan kebutuhan industri yang akan dibidik oleh investor.

"Tentu, ini membutuhkan usaha yang lebih besar untuk menghitung kebutuhan insentif tiap sektor dan berapa lama imbal hasil masing-masing sektor," imbuhnya.

Ia menambahkan, pemberian insentif dalam rangka menarik investasi tidak bisa dipukul rata. Pasalnya, jika ditilik lebih dalam, investor yang berkomitmen untuk berinvestasi datang dari berbagai jenis industri mulai industri manufaktur, barang konsumen hingga produk inovasi seperti mobil listrik. Hal ini menunjukkan bahwa investor membutuhkan jenis insentif yang berbeda.

"Ini mungkin saja dilakukan dalam rangka menarik investasi untuk mendorong masing-masing industri," kata Yusuf.

Baca juga: Luhut: China terus berinvestasi di kawasan Danau Toba

Baca juga: BKPM gandeng Polri permudah perizinan dan jamin keamanan investasi

Baca juga: Produsen baja ringan tanam investasi 4,9 juta dolar AS di Kendal

Baca juga: Produsen pala asal Belanda akan investasi Rp4,2 triliun di Papua Barat
 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020