Jika Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) memaksakan ketelanjuran perkebunan di seluruh kawasan hutan tanpa perkecualian, secara hukum statusnya lemah dan tidak bisa diimplementasikan.
Jakarta (ANTARA) - Kalangan akademisi menyatakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kawasan Hutan jangan sampai merugikan dunia usaha dan petani sawit.

Wakil Rektor IPB Prof Dr Dodi Ridho Nurrahmat di Jakarta, Rabu, mengatakan produk perundangan turunan UU Cipta Kerja itu harus mengakomodasi semua kepentingan secara seimbang termasuk kepentingan ekonomi masyarakat yang lebih luas.

Dalam isu kawasan hutan sebagaimana tertuang dalam RPP tersebut, tambahnya, ketelanjuran perkebunan sawit hanya bisa diberlakukan pada kawasan hutan yang sudah ditetapkan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, bukan pada kawasan hutan yang sudah ditunjuk.

“Jika Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) memaksakan ketelanjuran perkebunan pada seluruh kawasan hutan tanpa perkecualian, secara hukum statusnya lemah dan tidak bisa diimplementasikan,” kata Ridho dalam FGD Series #2 diselenggarakan IPB bertema Serap Aspirasi Publik untuk RPP Turunan UUCK terkait Usaha Perkebunan.

Baca juga: Lembaga penelitian masih temukan kebun sawit di hutan lindung

Menurut dia, pemerintah harus punya data mengenai luas kawasan hutan yang telah dikukuhkan sebelum mempublikasikan data luas kebun sawit yang masuk pada kawasan hutan.

Jika ketelanjuran kebun sawit di kawasan hutan mengacu pada semua kawasan hutan, akan timbul persoalan besar seolah-olah keberadaan kebun sawit mengakibatkan deforestasi dan kerusakan hutan.

Selain itu, lanjutnya, sangat penting bagi pemerintah memiliki definisi tentang kawasan hutan yang final supaya ada aturan yang tegas dan tidak multitafsir .

“Perlu ada definisi yang jelas tentang konsep kawasan hutan, apakah 10 persen sesuai dengan ketentuan FAO atau 30 persen dengan mengikuti ketentuan Permenhut,” katanya.

Baca juga: RI lancarkan enam alternatif kebijakan respon Uni Eropa soal sawit

Selain itu ketentuan kerugian dan ganti rugi juga menjadi persoalan serius bagi pelaku usaha.

Selama ini KLHK membebankan korporasi dengan biaya kerugian yang menghitung semua biaya kerusakan hutan yang telah dan akan terjadi sebagai biaya ganti rugi. Akibatnya, nilainya menjadi sangat besar dan tidak mungkin dibayarkan.

Idealnya, ganti rugi seharusnya dihitung berdasarkan kemampuan usaha.

Terkait pencabutan izin berusaha, tambahnya, juga harus dilakukan berhati-hati, terutama terkait batas waktu perizinan maksimal.

“Kebijakan ini perlu dievaluasi. Hal ini karena perusahaan baru beroperasi setelah mendapatkan HGU. Mungkin jangka waktunya bisa diperpanjang agar tidak terjadi pencabutan izin yang kontraproduktif dan justru melemahkan UU Ciptakerja.”

Di sisi lain, menurut dia, pencabutan izin dan pengembalian lahan kepada negara, punya persoalan baru yakni belum jelas siapa yang bertanggung jawab sebagai negara.

Sementara itu Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI) Petrus Gunarso mengingatkan, terminologi “ketelanjuran” dan “kawasan telantar” dalam RPP harus berhati-hati dipergunakan.

Dalam pemahaman istilah keterlanjuran yang menyangkut nasib 3,4 juta hektar kebun sawit di Kawasan hutan, KHLK juga termasuk sebagai pihak yang bertanggung jawab.

"Dan banyak juga di antaranya merupakan perkebunan milik petani," katanya.

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020