Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menilai revisi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menjadi agenda krusial untuk diselesaikan DPR RI pada 2021.

Menurut dia, naskah RUU Pemilu yang merupakan usul inisiatif DPR RI sudah masuk di Baleg DPR dan sudah dibentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahasnya.

"RUU Pemilu ini adalah yang pertama pasca-reformasi yang diinisiasi DPR karena sebelumnya selalu menjadi inisiatif pemerintah. Saya menilainya ada semangat progresif dari para anggota DPR namun ini bukan hal yang mudah untuk dilalui," kata Willy dalam diskusi secara virtual Forum Denpasar 12 dengan tema "Asa Politik Indonesia 2021", Rabu.

Willy yang merupakan Ketua Panja RUU Pemilu itu menjelaskan, ada enam poin krusial dalam RUU tersebut yang akan menjadi pembahasan intensif di internal Baleg.

Baca juga: Anggota DPR: 6 isu krusial di RUU Pemilu perlu dimatangkan
Baca juga: Perludem ingatkan pentingnya kajian teknis sebelum pilih sistem pemilu
Baca juga: Anggota DPR: RUU Pemilu bagian penataan sistem kepemiluan


Pertama menurut dia, terkait keserentakan Pemilu, perlu belajar dari pelaksanaan Pemilu 2019 yang banyak catatan perbaikan seperti Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 menjadi "yatim piatu" dalam pelaksanaannya.

"Parpol yang mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden, kalau partai sibuk mengurus calon legislatif (caleg) lalu caleg sibuk mengurus dirinya sendiri, maka dalam konteks ini, pilpres menjadi 'yatim piatu'. Lalu siapa yang mengurus pilpres, sehingga politik kita seperti kehilangan ayah-ibu," ujarnya.

Kedua menurut dia, terkait ambang batas parlemen dan mengajukan capres-cawapres, Indonesia tidak punya skema lain secara alamiah dan politis untuk melakukan pematangan dan konsolidasi demokrasi tanpa meningkatkan ambang batas.

Willy mengatakan dirinya sudah berdiskusi dengan berbagai pihak terkait cara apa untuk mematangkan demokrasi Indonesia dengan pasar politik yang skala tinggi dan liberal, maka salah satu pilihan yang rasional adalah meningkatkan ambang batas terus menerus.

"Dalam konteks ini, Fraksi NasDem mengusulkan ambang batas parlemen sebesar 7 persen, dan 'presidential treshold' ada usulan diturunkan agar ada ruang terbuka," katanya.

Ketiga menurut dia terkait besaran kursi per-daerah pemilihan (dapil), apakah ada pengurangan atau tetap menggunakan skema yang lama yaitu 3-10 kursi per-dapil. Willy menjelaskan poin krusial keempat adalah terkait metode konversi suara partai menjadi kursi, apakah menggunakan sainte lague atau kuota hare.

"Kelima terkait sistem pemilu apakah terbuka atau tertutup. Namun sejauh ini (fraksi-fraksi) mengusulkan tetap terbuka karena untuk memajukan demokrasi Indonesia," ujarnya.

Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI itu menjelaskan, isu keenam yaitu terkait pelaksanaan pilkada yang berkaitan dengan keserentakan pelaksanaan pemilu.

Dia menilai perlu dipertimbangkan kembali terkait ide pelaksanaan pileg, pilpres, dan pilkada yang dilaksanakan secara serentak karena dalam demokrasi, sisi rasionalitas harus dipertimbangkan bukan hanya soal efisiensi.

"Bayangkan saja kalau 270 daerah yang melaksanakan pilkada lalu mengurusi pilpres dan pileg, itu akan kewalahan dalam pelaksanaannya. Sisi rasionalitas harus dipertimbangkan bukan hanya soal efisiensi anggaran karena demokrasi jalannya mahal namun ada hal yang harus dirasionalisasikan," katanya.

Hadir dalam diskusi Forum Denpasar 12 tersebut antara lain Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya, Peneliti CSIS Arya Fernandes, Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Robikin Emhas, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, dan Ketua DPP Partai NasDem Korbid Kebijakan Publik dan Isu Strategis Suyoto.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021