Sepanjang 2020 merupakan tahun yang berat karena ekonomi mengalami penurunan signifikan akibat COVID-19
Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan realisasi penerimaan pajak hingga 31 Desember 2020 mengalami kontraksi 19,7 persen (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya yaitu dari Rp1.332,7 triliun menjadi Rp1.070 triliun.

Sri Mulyani menyatakan meskipun penerimaan pajak Rp1.070 triliun tersebut hanya memenuhi 89,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp1.198,8 triliun, namun kontraksinya masih lebih baik dibandingkan proyeksi pemerintah sebesar 21 persen.

"Ini sedikit lebih baik meski kontraksi sangat dalam dibandingkan 2019 di mana penerimaan pajak mencapai Rp1.332,7 triliun. Ini jauh lebih rendah dibandingkan APBN awal yang menargetkan Rp1.642,6 triliun dan dibandingkan Perpres 72/2020 juga sedikit turun dari Rp1.198 menjadi Rp1.070 triliun," katanya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Menkeu: Penerimaan pajak turun karena ekonomi kontraksi dan insentif

Meski demikian, Sri Mulyani tak memungkiri bahwa sepanjang 2020 merupakan tahun yang berat karena ekonomi mengalami penurunan signifikan akibat COVID-19.

Terlebih lagi, ia menuturkan pemerintah juga harus mengeluarkan berbagai insentif pajak dalam rangka mendorong dan memulihkan sektor usaha sehingga hal tersebut menjadi faktor hilangnya penerimaan negara melalui pajak.

"Dari sisi insentif yang kita berikan ke seluruh perekonomian yang menyebabkan beberapa penerimaan kita juga turun. Pajak ditanggung pemerintah ini menunjukkan pemerintah memberikan ruang bagi masyarakat," jelasnya.

Sri Mulyani merinci pertumbuhan minus pada penerimaan pajak terjadi karena seluruh realisasi komponennya mengalami kontraksi yakni PPh migas Rp33,2 triliun atau 104,1 persen dari target Rp31,9 triliun dan turun hingga 43,9 persen dibanding periode sama tahun lalu Rp59,2 triliun.

"PPh migas mengalami pukulan paling dalam. Ini terlihat harga minyak yang belum mengalami pemulihan dan lifting minyak di bawah asumsi," ujarnya.

Untuk pajak nonmigas yang telah terealisasi Rp1.036,8 triliun atau 88,8 persen dari target dalam Perpres 72/2020 yakni Rp1.167 triliun turut terkontraksi hingga 18,6 persen dibanding 2019 sebesar Rp1.273,5 triliun.

"Angka yang sangat dalam penurunannya dibandingkan UU APBN awal. Namun dibandingkan Perpres 72/2020 maka angka itu adalah 88,8 persen," katanya.

Pajak nonmigas terkontraksi 18,6 persen karena penerimaan PPh nonmigas Rp560,7 triliun yang merupakan 87,8 persen dari target Rp638,5 triliun mengalami kontraksi 21,4 persen dibanding 2019 sebesar Rp713,1 triliun.

Kemudian untuk pajak pertambahan nilai (PPN) turut mengalami kontraksi 15,6 persen karena penerimaannya hanya Rp448,4 triliun dibandingkan tahun lalu Rp531,6 triliun, namun telah memenuhi 88,4 persen dari target Rp507,5 triliun.

Untuk pajak bumi dan bangunan yang merupakan komponen dari pajak nonmigas terealisasi Rp21 triliun atau 155,9 persen dari target Rp13,4 triliun, namun tetap mengalami kontraksi 0,9 persen dibanding tahun lalu Rp21,1 triliun.

"Untuk PBB karena jumlahnya kecil namun kita bisa mengumpulkan Rp21 triliun, hampir mirip dengan tahun sebelumnya. Dibandingkan dengan target Perpres PBB ini lebih tinggi karena ditargetkan Rp13,4 triliun," jelasnya.

Untuk pajak lainnya yang juga masuk dalam komponen pajak nonmigas ikut serta terkontraksi hingga 11,7 persen karena realisasinya hanya Rp6,8 triliun dibanding 2019 Rp7,7 triliun namun telah mencakup 90,6 persen dari target Rp7,5 triliun.

Baca juga: Sri Mulyani sebut belanja negara 2020 tumbuh 12,2 persen
Baca juga: Sri Mulyani: Pendapatan negara 2020 terkontraksi 16,7 persen

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021