Jakarta (ANTARA) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) harus semakin ditingkatkan untuk substitusi bahan bakar minyak (BBM).

"Kita harus mengembangkan bahan bakar nabati sebagai substitusi BBM. Bahan bakar nabati sebagai substitusi BBM ini sudah cukup panjang kita teliti dan dalami khususnya sejak 10 tahun terakhir ini," kata Kepala BBPT Hammam Riza dalam seminar virtual (webinar) Peluang dan Tantangan Substitusi BBM di Sektor Transportasi di Jakarta, Kamis.

Hammam menuturkan Indonesia adalah negara dengan potensi biomassa yang sangat besar, yang dapat menjadi pengungkit dari upaya mengembangkan BBN sebagai substitusi BBM.

Hammam mengatakan meledaknya kebutuhan energi di dunia dalam kurun waktu satu abad terakhir dimana konsumsi energi meningkat sekitar tujuh kali lipat dibandingkan dengan awal abad ke-18, dan kontributor utamanya adalah BBM yang menjadi bahan bakar utama di sektor transportasi.

"Lebih dari 90 persen penggunaan energi di sektor transportasi itu menggunakan BBM dan ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap satu jenis bahan bakar yang tentu saja ini inti permasalahannya, karena rentan terhadap gejolak, baik dari sisi suplai, volume maupun harga," ujarnya.

Sementara di Indonesia, konsumsi energi pada sektor transportasi akan terus meningkat, lebih dari dua kali lipat dari konsumsi energi saat ini.

Baca juga: BPDPKS: Pengembangan biodiesel bernilai strategis bagi ekonomi

Baca juga: Menristek: Wujudkan bahan bakar nabati Indonesia berbasis sawit

Baca juga: Menperin dorong produksi bahan bakar nabati


Tahun 2050 diperkirakan sektor industri akan menjadi sektor pengguna energi terbesar, yakni sekitar 41 persen, diikuti sektor transportasi, yaitu sekitar 38 persen.

Dilihat dari jenis bahan bakar, lebih dari 90 persen bahan bakar di sektor transportasi tersebut adalah BBM. "Ini merupakan bukti bahwa kita memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap BBM," tutur Hammam.

Hammam menuturkan meningkatnya volume impor BBM berdampak pada defisit neraca perdagangan yang semakin membesar dan berkurangnya cadangan devisa nasional.

"Ketergantungan terhadap BBM ini menyebabkan meningkatnya impor minyak mentah maupun BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujar Hammam.

Pada 2019, Indonesia masih mengimpor minyak mentah sebanyak 75,3 juta barel dan BBM sebanyak 24,7 juta kilo liter.

Impor minyak yang tinggi tersebut menyebabkan pengurasan devisa negara mencapai 15 miliar dolar AS pada 2019 berdasarkan data Badan Pusat Statistik.

"Bahkan, impor BBMini merupakan salah satu kontribusi terbesar dari membengkaknya defisit neraca perdagangan pada 2019, defisit kita pada saat itu dilaporkan sebesar 3,2 miliar US dolar," tuturnya.

Tenaga ahli BBPT bidang energi, Unggul Priyanto menuturkan perlu dukungan kebijakan fiskal untuk mendorong penggunaan BBN atau biofuel untuk menggantikan BBM.

Baca juga: Pertamina gandeng 4 institusi bangun pabrik bahan bakar nabati

"Tidak ada ceritanya 'biofuel' itu mau yang biodiesel, mau yang lain-lain juga lebih murah daripada 'gasoline' (bensin), di sini diperlukan kebijakan fiskal dari pemerintah sedemikian rupa, sehingga 'biofuel' itu kompetitif," kata Unggul yang juga perekayasa ahli utama dari Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi dan Industri Kimia (PTSEIK) BPPT.

Menurut Unggul, harga biodiesel jatuhnya lebih mahal dari solar, sehingga untuk membuat harga biodiesel kompetitif akan terjadi subsidi yang semakin besar.

"Biodiesel cukup maksimum di B30, kemudian 'gasoline' (bensin) yang diupayakan habis-habisan untuk disubsititusi," ujarnya.

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021