diperlukan upaya untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, dimana pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti
Jakarta (ANTARA) - Pandemi telah mengalihkan perhatian semua orang pada fokus-fokus penting yang semula menjadi prioritas. Termasuk berbagai proyek energi terbarukan di tanah air.

Sejatinya awal tahun 2020, ada kabar baik dari Presiden Jokowi yang sudah mengungkapkan rencananya untuk mengembangkan riset energi baru dan terbarukan. Ini untuk mencari alternatif agar Indonesia terlepas dari ketergantungan pada energi fosil.

Kabar itu menjadi angin segar di tengah wacana pengembangan energi terbarukan di tanah air yang sempat mati suri selama tiga tahun sebelumnya.

Ketika itu Presiden Jokowi menyampaikan visinya dalam Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrembang) Nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis, 30 April 2020, bahwa ia ingin merancang strategi besar ke depan untuk mengurangi ketergantungan energi fosil ke arah bioenergi atau baterai.

Faktanya memang pengembangan energi terbarukan meski di tengah pandemi menjadi tak terelakkan untuk sejumlah alasan yang sangat mendesak.

Dengan energi terbarukan, misalnya masa depan energi bagi anak cucu kelak akan lebih terjamin dalam sebuah skema besar kemandirian dan ketahanan energi nasional.

Selain itu, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya sangat potensial untuk dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik.

Jika Indonesia mampu meningkatkan jumlah sumber energi terbarukan dengan signifikan maka hal ini akan semakin menunjukkan Indonesia sebagai negeri yang telah turut berperan mengurangi risiko kerusakan iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang bahkan generasi masa depan.

Di sisi lain, mendorong masyarakat untuk memperbesar porsi pemanfaatan energi terbarukan juga akan semakin menurunkan biaya pasokan energi jangka panjang sehingga semakin rendah dan terjangkau.

Hal itu sangat berbeda dengan pemanfaatan energi fosil pada pembangkit yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harganya yang terpengaruh nyata pada pasar harga bahan bakar, nilai tukar mata uang, dan inflasi.

Di sisi lain biaya operasional dan pemeliharaan (O&M) pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin, dan hidro relatif rendah dan kenaikannya terjaga. Bahkan capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang potensial dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.



Titik cerah

Ketika pandemi mengaburkan fokus pada upaya pengembangan energi terbarukan dari prioritas utama, nyatanya ada titik cerah yang membawa angin segar bagi proyek-proyek serupa di tanah air.

Cleantech Solar, salah satu pengembang photovoltaic (PV) berskala industri dan komersil terbesar di Asia, misalnya mulai melirik pangsa pasar Indonesia yang dianggap potensial.

Perusahaan yang berkantor pusat di Singapura itu sepakat menjalin kerja sama jangka panjang dengan PT Elangperdana Tyre Industry untuk proyek energi tenaga surya sebesar 4,5 MW di Indonesia.

Cleantech Solar setuju untuk menyajikan solusi menyeluruh dan menjamin kinerja sistem PV tenaga surya sepanjang masa perjanjian yang berlangsung selama 25 tahun.

Proyek kerja sama ini mendukung agenda keberlangsungan PT Elangperdana Tyre Industry dengan menghasilkan lebih dari 136.300 MWh listrik bersih.

Ini menjadi kabar yang baik karena angka itu setara dengan pengurangan lebih dari 117.500 ton emisi CO2. Dengan beralih ke energi surya, Indonesia akan mungkin menikmati manfaat sumber listrik yang lebih bersih dan murah serta memberi daya pada proses manufaktur tanpa mengeluarkan investasi lebih lanjut.

Langkah ini setidaknya berkontribusi pada target Indonesia untuk meningkatkan jumlah energi terbarukan hingga ​23 persen pada tahun 2025.

"Selain bertujuan untuk membangun masa depan yang ramah lingkungan, kami ingin meningkatkan kesadaran umum tentang pelestarian lingkungan karena proyek tenaga surya ini akan memainkan peran penting dalam mengurangi emisi karbon," kata ​Managing Director PT Elangperdana Tyre Industry​ Dicky Mursalie.

Potensi-potensi besar lainnya juga akan tergarap mengingat letak Indonesia di wilayah tropis yang sangat strategis karena sinar matahari merupakan sumber daya alam yang sangat melimpah.

Founder and Executive Chairman Cleantech Solar Raju Shukla mengatakan pihaknya menyambut baik kemitraan dalam melakukan transisi menuju sumber daya energi terbarukan.

“Kami menantikan semakin banyak kolaborasi serupa di Indonesia, yang akan membantu perusahaan mencapai target keberlangsungan lingkungan dan penghematan biaya, serta berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia,” kata Raja Shukla.

 
Foto udara yang dirilis pada 28 November 2020 ini menunjukkan air mengalir ke luar dari Stasiun Pembangkit Listrik Tenaga Air Lijiaxia di Provinsi Qinghai, China barat laut. Qinghai memiliki sumber tenaga surya dan angin yang melimpah. Sejauh ini, total kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan yang terpasang di Prefektur Otonom Etnis Tibet Hainan serta Prefektur Otonom Etnis Mongol dan Tibet Haixi masing-masing telah mencapai 15 juta kilowatt dan 10 juta kilowatt. ANTARA FOTO/Xinhua/Wu Gang/pras.
Pekerjaan rumah

Setahun yang lalu sebelum pandemi menghantam seluruh sektor di Indonesia, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa merangkum sejumlah catatan sebagai pekerjaan rumah bagi Pemerintahan Presiden Jokowi.

Sebab dalam proyek pengembangan energi terbarukan di Indonesia, setidaknya ada kebutuhan memobilisasi investasi publik dan swasta. Untuk itu diperlukan investasi 70-90 miliar dolar AS atau setara Rp1.000 triliun untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya.

Diperkirakan hanya 10-15 persen dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik.

Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, dimana pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti.

Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan cenderung berisiko dan tidak menarik.

Regulasi Indonesia kemudian dituntut untuk harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.

Daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina, dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia.

Pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja untuk membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur.

Namun juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatori pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik.

Itu belum termasuk segudang pekerjaan rumah yang lain yang membuat kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan teruji dalam kaitannya dengan pengembangan energi terbarukan.

Bukan mudah memang untuk merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi yang bisa menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia.

Hal yang pasti untuk menjamin Indonesia tetap berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan.

 

Copyright © ANTARA 2021