Jakarta (ANTARA) - Rentetan bencana alam yang terus berulang dan pandemi Covid-19 merupakan panggilan kepada semua orang untuk peduli akan urgensi memulihkan keseimbangan ekosistem.

Kerusakan ekologi harus segera diperbaiki agar bencana dan pandemi tidak menjadi ancaman permanen bagi kehidupan.

Ketika semua kekuatan masyarakat tengah fokus meredam penularan COVID-19, sejumlah daerah disergap ragam bencana seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, terjangan gelombang tinggi dan potensi letusan gunung berapi.

Hingga Kamis (21/1), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 185 bencana di sejumlah daerah. Tak kurang dari 127 peristiwa bencana banjir, 30 peristiwa tanah longsor dan beberapa peristiwa gempa bumi. Rentetan bencana itu menyebabkan 166 orang meninggal dunia, lebih dari 1.200 orang terluka, dan 1,3 juta orang yang terdampak harus mengungsi.

Gambaran kehidupan bersama pun tampak menjadi begitu suram karena penanganan pandemi Covid-19 di dalam negeri juga belum menunjukkan tanda-tanda menggembirakan.

Pembatasan sosial yang diperketat di Jawa-Bali belum mampu menekan penularan Covid-19. Bahkan, dalam satu-dua hari ke depan, jumlah kasus positif COVID-19 akan menyentuh jumlah atau angka psikologis satu juta kasus. Soalnya, per Sabtu (23/1), akumulasi kasus positif COVID-19 di dalam negeri telah mencapai jumlah 977.474 pasien karena adanya tambahan 12.191 kasus baru pada hari itu.

Rentetan bencana dengan segala akibatnya, ditambah perkembangan pandemi COVID-19, menjadi gambaran betapa berat dan rumitnya persoalan yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia di awal tahun 2021 ini. Betapa tidak; ketika krisis kesehatan dan resesi ekonomi belum tuntas ditangani, penderitaan sebagian masyarakat tereskalasi karena sejumlah bencana alam.

Peristiwa banjir, tanah longsor hingga gempa bumi bisa dikatakan predictable karena selalu terjadi di bulan-bulan pertama setiap tahunnya. Namun, untuk awal 2021 sekarang ini, faktanya jelas sangat memprihatinkan karena banyaknya korban jiwa, korban luka dan kerusakan akibat rangkaian bencana itu terbilang luar biasa.

Sambil membantu para korban dan mereka yang terdampak langsung dari rangkaian bencana itu, sejumlah daerah lainnya juga didorong mengantisipasi potensi bencana lainnya.

Baca juga: Pengelolaan air, antara pemenuhan hak rakyat dan kelestarian alam

Peringatan BMKG

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah berulangkali mengingatkan masyarakat untuk selalu mewaspadai cuaca ekstrim. Sebab, sepanjang Januari-Februari 2021, sebagian besar wilayah Indonesia, mencapai 94 persen dari 342 zona musim, sedang memasuki puncak musim hujan.

Selain itu, depresi tropis atau bibit siklon tropis di Samudra Hindia selatan berpotensi menimbulkan ancaman gelombang laut tinggi di sejumlah perairan, antara lain di Laut Jawa bagian timur, Selat Makassar bagian selatan dan sejumlah perairan di wilayah timur Indonesia.

Masyarakat juga diimbau terus mewaspadai aktivitas sejumlah gunung berapi. Sedikitnya enam gunung berapi dalam status siaga atau waspada. Antara lain gunung Api Ili Lewotolok (Lembata, Nusa Tenggara Timur), Gunung Api Merapi (Jawa Tengah), Gunung Api Sinabung (Sumatera Utara), Gunung Api Karangetang (Sulawesi Utara), Gunung Api Semeru (Jawa Timur) dan Gunung Api Anak Krakatau (Lampung).

Semua orang, baik yang sudah terdampak maupun belum terdampak bencana alam serta terpapar COVID-19, bisa merasakan langsung betapa alam semesta dan lingkungan hidup semakin kurang bersahabat.

Tak hanya bencana, alam semesta juga menghadirkan ragam virus yang merusak kesehatan manusia. Sebaliknya, sejak puluhan tahun lalu, para ahli sudah mengingatkan bahwa manusia telah bertindak sembrono terhadap bumi. Agresifitas manusia mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) menyebabkan terjadinya kerusakan atau ketidakseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan itu menjadi sumber bencana dan pembiakan ragam virus.

Rusaknya lingkungan hidup atau ekosistem sudah dibahas selama beberapa dekade oleh para ahli. Sudah banyak pula Inisiatif memperbaiki ekosistem. Ekosistem memiliki daya atau kemampuan untuk memperbaiki atau meregenerasi kerusakan.

Sayangnya, bersamaan dengan munculnya inisiatif perbaikan itu, manusia tetap saja agresif mengeksploitasi SDA. Kerusakan ekosistem pun semakin parah, dan akibatnya sebagaimana dirasakan semua orang sekarang ini. Bencana alam silih berganti, dan virus-virus yang mengancam kesehatan manusia terus bermunculan.

Selain Virus corona, banjir besar yang melanda beberapa wilayah di tanah air merupakan akibat dari ketidakseimbangan ekosistem. Ekosistem layak dipahami sebagai sebuah tatanan utuh antara semua mahluk hidup dengan lingkungannya.

Ketika lingkungan rusak dan kehilangan keseimbangannya, kemungkinan yang muncul adalah malapetaka. Penebangan pohon atau penggundulan hutan menyebabkan hilangnya kemampuan akar tumbuhan di hutan menyerap air. Ketika curah hujan tinggi, air hujan yang luber akan mendorong sampah dan material bebatuan menerjang pemukiman manusia.

Banjir bandang di Gunung Mas, Puncak, Bogor, beberapa hari lalu, setidaknya menjadi bukti akibat dari ketidakseimbangan ekosistem. Begitu juga banjir besar yang melanda beberapa wilayah di pulau Kalimantan. Akibat penebangan pohon dan penggundulan, hutan di Kalimantan tak mampu lagi menyerap air.

Baca juga: Banjir dan kenangan

Panggilan pulihkan ekosistem

Tak hanya menyebabkan banjir, rusaknya lingkungan hidup juga menjadi faktor yang mampu mengganggu kesehatan manusia. Banyak penelitian memberi bukti bahwa munculnya ragam virus yang mengganggu kesehatan manusia bersumber dari kegiatan manusia mengeksploitasi SDA secara berlebihan.

Kegiatan manusia merambah hutan yang marak memungkinkan patogen atau mikroorganisme parasit pada beragam satwa liar berpindah ke manusia. Mikroorganisme parasit itulah yang menjadi penyebab atau sumber beragam penyakit.

Kalau kesembronoan manusia dengan merusak ekosistem terus berlanjut, bencana seperti banjir, tanah longsor dan kemunculan virus-virus yang merusak kesehatan manusia akan menjadi ancaman permanen bagi kehidupan, sekarang dan di dekade-dekade mendatang. Maka, pandemi global Covid-19 dan terus berulangnya bencana alam tidak hanya mengingatkan manusia untuk berhenti merusak ekosistem.

Seperti halnya bencana alam yang terus berulang, virus SARS-CoV-2 penyebab infeksi Covid-19 dipastikan bukanlah yang terakhir. Virus-virus baru yang mengancam kesehatan manusia berpotensi muncul lagi di kemudian hari sebagai reaksi bumi akibat ketidakseimbangan alam semesta.

Maka, bencana alam yang terus berulang dan krisis kesehatan sekarang ini layak dimaknai sebagai panggilan kepada semua orang untuk peduli dan mulai bekerja memulihkan keseimbangan ekosistem.

*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI

Baca juga: Komisi IV DPR desak revisi UU Konservasi SDA tidak ditunda lagi

Copyright © ANTARA 2021