Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 mengharuskan seluruh aktivitas masyarakat diselenggarakan dari rumah, baik bekerja, sekolah maupun kuliah, bahkan kegiatan sosial.

Di sisi lain, pandemi yang telah berlangsung hampir satu tahun pada Februari 2021 memacu kesadaran masyarakat untuk memiliki hunian sendiri mulai tumbuh.

Terutama kalangan milenial yang sebelum terjadinya pandemi belum menjadikan rumah sebagai prioritas untuk dibeli. Sebagian besar penghasilan lebih banyak dipergunakan untuk "jalan-jalan" (traveling) di dalam maupun luar negeri.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk milenial sebanyak 69,9 juta jiwa atau setara 25,87 persen dari total penduduk. Sedangkan di atasnya ada generasi Z sebanyak 75,49 juta jiwa atau setara 27,94 persen.

Namun adanya pandemi COVID-19 ini membuat mobilitas masyarakat makin terbatas. Jangankan berpergian ke luar negeri, di dalam negeri saja harus mengikuti berbagai prosedur protokol kesehatan agar bisa berangkat.

Kondisi demikian membuat kalangan milenial mulai mengubah pola pikir (mindset) yang awalnya acuh untuk memiliki hunian sendiri, kini malah berlomba-lomba mencari rumah atau apartemen sebagai tempat tinggal.

Hanya saja para milenial ini memiliki persyaratan dalam memilih hunian. Mereka tidak peduli apakah itu unit baru atau bekas sepanjang memiliki akses kepada transportasi publik dan memiliki jaringan internet yang mumpuni pasti akan dibeli.

Persoalannya untuk memiliki rumah yang layak dan terjangkau bagi kalangan milenial tentu tidak mudah. Harga hunian dengan kriteria seperti itu masih berada di kisaran Rp300-600 juta.

Dengan harga sebesar itu tentunya warga milenial yang mayoritas masih merintis karir tentunya bakal kesulitan kalau harus membayar tunai.

Sejauh ini untuk membeli unit rumah maupun apartemen fasilitas pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah/Apartemen (KPR/KPA) dari perbankan masih menjadi solusi terbaik. Apalagi pembiayaan jangka panjang ini bisa diberikan sampai dengan 30 tahun.

Lagi pula membeli rumah menggunakan KPR/KPA juga lebih aman mengingat perbankan biasanya akan melakukan verifikasi terhadap hunian yang bakal dibeli terlebih dulu.

Baca juga: Vaksinasi dorong tumbuhnya pasar apartemen pada 2021
Milenial membeli rumah menggunakan layanan virtual (Foto HO BTN)

Subsidi
Pemerintah telah menyiapkan fasilitas subsidi bagi masyarakat yang ingin membeli rumah atau apartemen idaman. Terdapat dua fasilitas yang disediakan pemerintah yakni dari suku bunga melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM).

Bantuan subsidi untuk membeli hunian tahun ini telah dicairkan pada tanggal 4 Februari 2021. Penyalurannya melalui Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), yakni BLU di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Total dana yang dialokasikan untuk tahun 2021 sebesar Rp19,1 triliun yang akan didistribusikan pada bank-bank penyalur KPR/ KPA. Dana sebesar itu berasal dari DIPA 2021 sebesar Rp16,66 triliun, sedangkan sisanya Rp2,44 triliun dari pengembalian pokok untuk 157.500 unit rumah.

Salah satu bank yang tahun lalu mendistribusikan fasilitas subsidi kepemilikan rumah adalah PT Bank Tabungan Negara Tbk, sebagai bank yang memfokuskan bisnisnya pada pembiayaan rumah tentunya misi serupa juga kembali dilaksanakan tahun 2021.

Plt Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu berharap kuota kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi baik melalui skema FLPP, subsidi selisih bunga (SSB) maupun skema KPR Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) bisa ditingkatkan pada tahun 2021.

Nixon optimis permintaan KPR subsidi tahun 2021 akan lebih tinggi dari 2020 sehingga sudah sewajarnya kuota juga ikut ditambah seiring semakin tingginya permintaan.

Menilik capaian BTN sampai dengan kuartal III 2020 telah menyalurkan kredit dan pembiayaan sebesar Rp254,91 triliun. Dari angka tersebut, KPR masih mendominasi, yakni senilai Rp196,51 triliun atau naik 1,39 persen "year on year" (yoy) dari Rp193,8 triliun pada kuartal III/2019.

Dari total penyaluran KPR, porsi KPR subsidi mencapai Rp116,32 triliun atau lebih tinggi dibandingkan KPR non-subsidi yang sebesar Rp80,18 triliun.

Sedangkan di tahun 2021 ini, Nixon memproyeksikan sektor properti khususnya hunian kembali bangkit seiring dengan optimisme program vaksinasi. Meski tak disebut berapa persen pertumbuhannya namun kita dapat berpegang kepada prediksi Kemenkeu yang memperkirakan bisa tumbuh di kisaran 4,5 sampai 5,5 persen.

Jaring milenial
Pasar milenial yang demikian besar membuat pengembang properti maupun perbankan berupaya menjaring mereka tentunya dengan mempelajari perilaku dan karakteristik yang menyertainya.

Salah satu perilaku warga milenial ini adalah tidak mau prosedur yang ribet untuk membeli rumah. Bahkan kalau bisa cukup dengan gawai segala sesuatunya sudah dapat diselesaikan termasuk urusan KPR.

Baik kalangan perbankan maupun pengembang menyadari pasar yang tidak ingin repot ini ditambah lagi kondisi pandemi yang tidak memungkinkan. Karena itu pada tahun 2020 lalu strategi pemasaran pun berubah menggunakan teknologi virtual.

Mulai dari pameran properti hingga KPR sepanjang tahun 2020 difasilitasi menggunakan teknologi internet. Pembeli tak perlu repot keluar dari rumah cukup melihat dari komputer atau ponsel untuk melihat spesifikasi rumah atau apartemen yang akan dibelinya.

Kalaupun ingin melihat langsung rumah yang diminati tinggal membuat janji melalui layanan. Seperti diketahui memeriksa kondisi fisik rumah/apartemen tetap diperlukan agar apa yang dijanjikan memang benar adanya sebagai contoh dengan dengan transportasi publik, dekat pusat kegiatan masyarakat serta yang lebih penting lagi tidak banjir.

Seperti dalam ajang pameran virtual Indonesia Property Expo 2020 yang diselenggarakan BTN selama 1,5 bulan. Pameran ini berhasil menarik 2 juta kunjungan. Lantas dari jumlah kunjungan ini sebanyak 3.000 diantaranya mengajukan permohonan KPR serta sebanyak 95 persen merupakan pemohon subsidi.

Mayoritas pemohon KPR yakni sebanyak 40 persen membeli rumah dengan harga Rp300 sampai Rp600 juta, sedangkan 29 persen membeli rumah dengan harga Rp100 sampai Rp300 juta. Selanjutnya 12 persen membeli rumah dengan harga Rp600 juta sampai Rp1 miliar dan hanya 7 persen yang membeli rumah di atas Rp1 miliar.

Dengan berbagai kemudahan yang diberikan perbankan seharusnya warga milenial ini akan semakin banyak untuk membeli rumah. Meskipun hal ini tetap harus dipadankan dengan tipe rumah yang diinginkan, hal ini memang menjadi tantangan bagi pengembang perumahan/apartemen.

Baca juga: Anies terbitkan Pergub 118/2020 untuk percepat perizinan gedung
Lokasi hunian dengan transportasi publik menjadi pilihan warga milenial (Foto ANTARA/ Ganet Dirgantoro)

Generasi milenial juga kian sadar mereka tidak akan membeli rumah/ apartemen yang tidak menggandeng perbankan. Perbankan sendiri hanya akan mengucurkan KPR apabila hunian tersebut prospektif dan jelas penyelesaiannya.

Dengan harga tanah yang setiap tahunnya terus mengalami kenaikan seiring dengan pembangunan infrastruktur, membuat pengembang rumah/ apartemen baik dari swasta maupun BUMN harus melakukan inovasi agar harga masih terjangkau bagi generasi milenial.

Sepertinya harga Rp300 sampai Rp600 juta masih masuk akal untuk menjangkau generasi milenial di tahun 2021. Kalangan perbankan pun kelihatannya akan siap untuk memberikan dukungan untuk pasar rumah sebesar itu. Tinggal kini urusan membangunnya.

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021