Jakarta (ANTARA) - Filsuf legendaris asal Jerman, Friedrich Nietzsche, terkenal dengan ungkapan fenomenal-nya bahwa Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan manusia telah membunuhnya.

Ungkapan itu sejati-nya tak bisa dimaknai langsung secara harfiah melainkan perlu untuk digali lebih dalam bahwa ada kritik sosial yang terkandung dalam gagasan yang sering dikaitkan dengan kelahiran faham nihilisme itu.

Sebagaimana Yulius Aris Widiantoro pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Nihilisme sebagai Problem Eksistensial (2009). Yulius menyebut bahwa ungkapan Nietzsche sejati-nya dapat dimengerti sebagai sebuah penggambarannya dalam memahami dunia sebagai realitas yang perlu dijalani tanpa mempersoalkan baik dan buruk sebagai standar moral yang mutlak.

Nietzsche berpikir bahwa sudah terlalu lama manusia berada dalam cengkeraman kekuatan supernatural atau ide-ide yang bersifat ketuhanan yang tanpa disadari telah mengurangi semua potensi vital manusia.

Nietzsche sangat menyadari sebenarnya manusia bisa bahkan harus melepaskan diri dari intervensi hal-hal yang bersifat ilahiah itu dan sejumlah nilai tertentu menuju pada tahapan atau kehidupan tanpa nilai. Sebab baginya justru hidup tanpa nilai itulah yang menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan hidup penuh makna.

Gagasan Nietszche ini banyak menjabarkan tentang upaya manusia untuk melepaskan ketergantungan pada siapa pun dan apapun kecuali pada kekuatan diri sendiri.

Dalam konteks Indonesia, pemikiran Nietszche sangat mungkin dianggap terlampau ekstrim bahkan rentan mengundang kontroversi. Ia akan lekat dengan stigma kafir yang ateis bagi segolongan masyarakat tertentu tanpa terlebih dahulu mencoba memahami makna gagasan di dalamnya.

Baca juga: KSP: Perlindungan hak masyarakat atas KBB agenda prioritas Presiden

Baca juga: Kecam ekstremisme, Menlu AS sebut Indonesia contoh harmonis beragama


Memang dalam perkembangannya paham Nietszche itulah yang menjadi dasar bagi beberapa negara untuk tidak mengintervensi kebutuhan dan kepentingan beragama masyarakatnya.

Akibatnya kehidupan beragama menjadi terpisah dengan kehidupan bernegara dan tak ada jaminan apa pun bagi pemeluknya secara hukum negara.

Dunia Terbalik
Hal berbeda terjadi di Indonesia ketika ada suatu masa saat penggunaan atribut identitas agama tertentu pernah menjadi suatu hal yang amat sensitif di Tanah Air.

Sebut saja di dunia pendidikan, di era 1980-an penggunaan seragam identitas keagamaan, misalnya, jilbab bagi perempuan di sekolah umum menjadi perdebatan serius bahkan beberapa sekolah ada yang nekat melarang.

Namun seiring berjalan-nya waktu, banyak yang kemudian mengizinkan siswi mengenakan jilbab di sekolah umum atas anggapan hal asasi dan kebebasan beragama.

Tren penggunaan jilbab di sekolah umum kemudian menemui titik awal euforia-nya ketika banyak siswi-siswi mengenakannya pada kurun 1990-an bahkan memuncak hingga 2000-an sampai sekarang.

Namun tren itu kemudian dianggap menjadi kebablasan ketika ada sejumlah wilayah yang justru mewajibkan kepada seluruh siswanya tanpa memandang keyakinan atau agamanya.

Hal ini menjadi semacam fenomena dunia terbalik yang mestinya tidak terjadi di negeri ini yang menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya.

Baca juga: P2G khawatir SKB terkait seragam sekolah tidak akan implementatif

Bahkan hal itu amat disayangkan ketika masyarakat saat ini semakin memiliki utopia tertingginya untuk mencapai kemadanian tetapi pewajiban penggunaan atribut identitas agama secara asal atau tidak pada tempatnya masih saja terjadi.

Pemerintah pun kemudian dituntut untuk mengambil sikap terkait sejumlah kasus yang ditemukan terjadi demi memenuhi amanat bahwa negeri ini menjamin kebebasan masyarakatnya untuk memeluk agama apa pun sesuai keyakinannya masing-masing.

SKB 3 Menteri
Faktanya pemerintah memang melakukan sejumlah langkah untuk mengantisipasi hal itu terjadi lagi di antaranya dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang mengatur tidak bolehnya melakukan pemaksaan dan pelarangan penggunaan atribut keagamaan di lingkungan sekolah mililk pemerintah.

Dalam dunia pendidikan khususnya, Rektor IAIN Pontianak, Kalimantan Barat, Dr Syarif, misalnya, mengatakan bahwa sekolah milik pemerintah sebagai representasi negara memang tidak sepatutnya mengurusi atau mengatur mengenai urusan atribut keagamaan terhadap peserta didik maupun para staf pengajar.

Kesadaran untuk mau memakai seragam sesuai tuntunan agama di sekolah umum negeri (milik pemerintah) itu muncul dari diri sendiri. Bukan dipaksa oleh negara. Jadi ini soal hak sebab berada di lingkungan pendidikan bersifat umum.

Syarif menyebutkan, kerap menjadi masalah selama ini karena adanya paksaan dan larangan kepada murid dan staf pengajar di sekolah milik pemerintah. Dengan begitu, seolah beragama diintervensi dan takut oleh sanksi administratif pimpinan sekolah.

"Mudahnya menafsirkan SKB 3 Menteri itu, bila murid muslimah ingin berjilbab di sekolahnya, silakan saja, jangan dipaksa atau dilarang. Tidak pakai (jilbab) pun tidak masalah. Membuat ribut itu ketika ada murid belum ingin pakai jilbab tapi dipaksa, bila tidak, maka nilainya jelek. Atau murid non-muslimah dipaksa pakai jilbab," tutur Syarif.

Hal yang terpenting adalah standardisasi seragam murid dan guru yang memenuhi kaidah kesopanan, norma, serta etika dan sewajarnya. Memenuhi aspek itu saja sudah dapat dianggap sesuai dengan ajaran agama.

Dari situlah kemudian Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan aturan mengenai penggunaan seragam dan atribut di lingkungan sekolah milik pemerintah.

Dalam SKB 3 Menteri tersebut dijelaskan bahwa peserta didik serta tenaga pendidikan di lingkungan sekolah milik pemerintah berhak memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa ciri agama tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Nadiem Makarim pun telah mengimbau supaya pemerintah daerah dan kepala sekolah segera meniadakan lagi aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan atau tanpa ciri agama dalam kurun waktu 30 hari pasca-terbitnya SKB.

Negeri ini tak pernah mengambil inspirasi gagasan Nietsczhe yang meyakini Tuhan telah mati, namun bukan juga sebaliknya bahwa masyarakat harus beragama sama sebagaimana keinginan sekelompok orang saja.

Lebih dari itu bahwa harus disadari benar bangsa ini besar karena fondasi keberagaman yang dibangun jauh sebelum NKRI dilahirkan. Keberagaman adalah warisan leluhur bangsa ini, beragam sebebas masing-masing meyakini agama yang dianut-nya tanpa pemaksaan.

Baca juga: Saat Perayaan Natal, Jokowi tegaskan jamin kebebasan beragama

Baca juga: Mendikbud : Seragam dengan atribut keagamaan keputusan individu

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021