Inilah perlunya transformasi perpustakaan berbasis inklusi, yakni versus eksklusif
Jakarta (ANTARA) - Kepala Perpustakaan Muhammad Syarif Bando mengatakan literasi memiliki peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Tanah Air.

“Literasi terbagi empat tingkatan, yakni kemampuan mengumpulkan sumber-sumber bacaan, memahami yang tersirat dari yang tersurat dan mengemukan ide, teori, kreativitas dan inovasi baru,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Pada tingkatan keempat tersebut, kata dia, seseorang mampu menciptakan barang dan jasa yang bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global.

“Jadi literasi tidak lagi sekadar bisa membaca namun memproduksi,” kata dia.

Ia mengatakan Presiden Joko Widodo fokus RPJMN 2020-2024 yakni peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Literasi menentukan kesejahteraan karena percaturan global sudah pada tingkat literasi. Oleh karena itu, Perpusnas sejak 2017 diusulkan menjadi prioritas nasional untuk transformasi layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial.

Hal itu, katanya, guna membuktikan bahwa literasi bisa mengubah nasib orang menjadi sejahtera dan akhirnya di bawah Presiden Joko Widodo, program ini menjadi prioritas nomor satu.

Saat ini, literasi Tiongkok berada jauh di atas Indonesia. Bahkan, mereka memimpin dunia dalam percaturan kompetisi global, sedangkan penduduk Indonesia banyak menjadi konsumen dan rendah memproduksi karena dampak dari rendahnya tingkat literasi.

Baca juga: Perpusnas minta perguruan tinggi kembangkan SDM melalui literasi

Maka dari itu, Perpusnas memberikan aksestabilitas digital untuk semua mahasiswa di seluruh nusantara di era study from home (SFH) ini. Diakui, Perpusnas saat ini menjadi terbaik ketiga di dunia pada top open access journal ilmiah dengan kurang lebih empat miliar artikel. Selain mahasiswa, layanan tersebut juga diberikan kepada tenaga pendidik dan semua sekolah.

“Karena pada akhirnya persaingan global dalam tatanan ekonomi dunia adalah siapa yang bisa ciptakan produksi untuk konsumsi massal. Saat ini kita dipaksa hidup dengan teknologi yang bergerak sangat cepat,” katanya.

Indonesia dengan 270 juta penduduknya saat ini dan diprediksi 50 tahun ke depan penduduk Asia akan menjadi meningkat menjadi lima miliar jiwa. Jauh di atas Eropa yakni 800 juta, Amerika Utara yakni satu miliar jiwa. Dengan kata lain benua Asia akan menjadi pusat baru kehidupan manusia, dan jantungnya adalah Indonesia yang bakal menjadi tema sentral literasi dalam menciptakan barang dan jasa bermutu.

Namun, katanya, berdasarkan standar UNESCO setiap orang minimal membaca tiga buku baru setiap tahun. Kalau penduduk Indonesia 270 juta maka membutuhkan 810 juta buku beredar di masyarakat setiap tahun. Namun, total jumlah bahan bacaan hanya mencapai 22, 3 juta eksemplar dengan rasio nasional 0,0098 atau tidak mencapai satu persen.

Sementara itu, katanya, Eropa bisa mencapai 15-20 buku per tahun, Amerika Utara bisa 25 buku setahun. Artinya Indonesia mengalami ketertinggalam jauh.

"Jadi jangan menghakimi anak-anak Indonesia di sisi hilir yang rendah budaya baca, tetapi ini dikarenakan tidak disiapkannya buku yang beredar di masyarakat. Siapa yang bertanggung jawab memastikan adanya peredaran buku di masyarakat. Ini adalah tugas penyelenggara negara. Tapi penulis dan penerbit buku juga harus bisa menyesuaikan kebutuhan masyarakat di berbagai tempat yang tidak sama kebutuhannya,” katanya.

Pada 2021, Perpusnas fokus membicarakan persoalan literasi di sisi hilir dan hulu. Sisi hilir hasil survei rendah budaya baca dan mengakibatkan rendah literasi. Akhirnya parameter dunia menilai daya saing global Indonesia dan income per kapitanya rendah.

Baca juga: Perpusnas dorong perpustakaan gunakan paradigma kebermanfaatan

Sisi hulu, yakni peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta komponen bangsa, bertugas mencerdaskan bangsa. Buku sudah jadi kebutuhan pokok karena menjadi pemicu memenuhi kebutuhan pokok lainnya.

Perpustakaan nasional di seluruh dunia dianggap sebagai sumber informasi.

"Kita semua dibangun sebagai jantung pendidikan dan menjadi jembatan ilmu pengetahuan. Institusi itu dibangun 2014. Maka fungsi kami adalah bagaimana masyarakat mendapat informasi. Di 2021 ini kami menjadikan Perpusnas ini sebagai universitas zoom dengan berpelanggan 10.000 kuota orang setiap membuat acara dengan mengundang berbagai rektor, menteri, dan narasumber lainnya. Sementara saya hanyalah pustakawan yang menyinergitas serta hadirkan orang-orang profesional,” katanya.

Tantangan utama Perpusnas saat ini, menyakinkan generasi milenial membutuhkan ilmu pengetahuan agar mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermutu di masa mendatang. Generasi milenial tidak boleh menjadi generasi internetan yang hanya berselancar di gelombang, dengan penuh ketidakpastian dan pengetahuan yang dangkal.

“Milenial harus banyak membaca. Semua negara maju yang kita banggakan itu semuanya berproses yang berliku panjang yang dibangun oleh orang-orang berpengetahuan tingkat literasinya mumpuni dan bisa menatap masa depan yang terus berputar dengan cepat. Inilah perlunya transformasi perpustakaan berbasis inklusi, yakni versus eksklusif,” katanya.

Baca juga: Literasi harus didukung distribusi buku
Baca juga: Kemendikbud : perlu tata kelola pascapenetapan pantun


Pewarta: Indriani
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021