Keadilan restoratif te kejahatan umum tidak menimbulkan korban manusia
Mataram (ANTARA) - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat Prof Amiruddin menegaskan penerapan keadilan restoratif atau restorative justice sah terlaksana apabila langkah mediasi tidak berhasil atau tak berujung damai.

"Jika salah satu pihak tidak mau berdamai, maka penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif adalah tidak memenuhi syarat formil," kata Prof Amiruddin, di Mataram, Selasa.

Ia menyampaikan hal itu merujuk pada Surat Edaran Kapolri Nomor: 8/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Hal tersebut juga disampaikan terkait kasus yang kini sedang hangat di dunia maya, yakni perusakan gudang tembakau UD Mawar Putra yang berlokasi di Desa Wajageseng, Kabupaten Lombok Tengah.

Dalam kasus itu, empat ibu rumah tangga (IRT) menjadi tersangka, sehingga terancam pidana lima tahun dan enam bulan penjara sesuai sangkaan Pasal 170 ayat 1 KUHP tentang Perusakan.

Empat IRT yang kini menjadi terdakwa yakni Nurul Hidayah, Martini, Fatimah, dan Hultiah diduga melakukan tindak pidana perusakan barang hingga perbuatannya diduga menimbulkan kerugian material pemilik gudang senilai Rp4,5 juta.

"Meskipun secara yuridis pasal yang dipersangkakan adalah tidak termasuk tindak pidana ringan, seperti Pasal 364 KUHP, 373 KUHP, 379 KUHP, 384 KUHP, 407 KUHP dan 482 KUHP, dan nilai kerugiannya tidak lebih 2,5 juta rupiah (Vide Perma No. 2 Tahun 2012)," ujarnya.

SE Kapolri Nomor 8/2018, ujar Amir, menentukan syarat materiil dan syarat formil dalam penanganan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice. Syarat materiilnya antara lain tidak menimbulkan keresahan dan penolakan masyarakat, serta tidak berdampak konflik sosial.

Kemudian, adanya pernyataan semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum. Kemudian SE itu menganut prinsip pembatas. Kepada pelaku, kata Amir lagi, yakni tindak kesalahan relatif tidak berat.

"Yakni kesalahan atau mensrea (niat jahat) dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk); dan pelaku bukan residivis," ujar dia lagi.

Prinsip pembatas terhadap tindak pidana merujuk pada proses penyelidikan dan penyidikan, sebelum surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dikirim ke penuntut umum.

Sedangkan, syarat formilnya, antara lain surat permohonan perdamaian pelapor dan terlapor; surat pernyataan perdamaian (akta dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara.

"Dalam hal ini ditandatangani pelapor dan atau keluarga pelapor, terlapor dan atau keluarga terlapor, dan perwakilan dari tokoh masyarakat diketahui oleh atas penyidik," kata dia.

Kemudian syarat formil lainnya berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tambahan pihak yang berperkara, setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif; rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; pelaku tidak keberatan atas tanggung jawab, ganti rugi, atau dilakukan dengan sukarela.

"Semua tindak pidana dapat dilakukan keadilan restoratif terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia," ujarnya.

Menurut Amir, merujuk pada kasus empat IRT tersebut, Kejati NTB dengan perspektifnya sendiri menjelaskan bahwa di samping sarat objektif yaitu ancaman pidana dari pasal yang dipersangkakan sudah memenuhi syarat untuk dilakukan penahanan, juga para tersangka tidak kooperatif.


"Itu alasan jaksa menahan empat ibu rumah tangga itu," kata Amir.

Polda NTB dengan perspektifnya, menurut Amir, juga memberikan penjelasan bahwa penyidik Polri memang tidak melakukan penahanan sejak kasus ditangani di tahap penyelidikan, penyidikan, sampai pelimpahan tahap dua.

"Penyidik Polri telah berupaya melakukan mediasi dengan pendekatan restorative justice sebagaimana SE Kapolri itu, namun salah satu pihak tidak bersedia untuk berdamai," katanya pula.

Dalam kasus tersebut, kini penahanan empat terdakwa telah ditangguhkan sesuai penetapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Praya, Kabupaten Lombok Tengah, pada agenda pembacaan dakwaan yang digelar Selasa (22/2).

Majelis hakim yang dipimpin Asri dengan anggota Pipit Christa dan Maulida Ariyanti selanjutnya menetapkan agenda lanjutan sidang dengan agenda eksepsi atau nota keberatan pada Kamis (25/2).
Baca juga: Jaksa Agung: 222 perkara dihentikan berdasarkan keadilan restoratif
Baca juga: Listyo Sigit, transformasi Polri Presisi, dan keadilan restoratif

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021