Pencantuman label no palm oil jelas melanggar regulasi pemerintah seperti UU Pangan dan peraturan BPOM
Jakarta (ANTARA) - Pencantuman label "no palm oil" di produk makanan dinilai merupakan bagian dari kampanye negatif yang bertujuan menekan daya saing sawit.

Guru Besar Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara Posman Sibuea menyatakan Pemerintah Indonesia harus menjaga kelapa sawit dari kampanye hitam karena bisa menurunkan minat masyarakat untuk mengonsumsinya.

"Pencantuman label no palm oil yang ditemukan di produk makanan olahan di Indonesia bertujuan membuat citra buruk terhadap sawit. Pencantuman label no palm oil jelas melanggar regulasi pemerintah seperti UU Pangan dan peraturan BPOM," ujarnya dalam dialog webinar Majalah Sawit Indonesia bertemakan "Kontribusi Sawit Bagi Pemenuhan Gizi Indonesia dan Dunia" di Jakarta, Rabu.

Seharusnya, lanjutnya, pemerintah melalui BPOM dapat menindak tegas perusahaan yang mencantumkan label no palm oil.

Baca juga: Presiden Jokowi harapkan komitmen Malaysia lawan diskriminasi sawit

Menurut dia, sawit merupakan minyak masa depan sebagai golden crop, karena produktivitasnya sangat tinggi dibandingkan minyak nabati lain bahkan hingga tiga sampai empat kali di atas minyak kedelai dan bunga matahari.

Dia menambahkan bahwa kampanye negatif terhadap sawit kian gencar karena harganya murah dan kualitas sebagus dengan minyak nabati lain.

"Akhirnya, muncul isu minyak sawit penyebab penyakit jantung dan kegemukan, sehingga minyak sawit dilabeli tidak menyehatkan. Isu ini dibesar-besarkan oleh masyarakat Uni Eropa untuk mendiskreditkan kelapa sawit. (Kekurangan) kecil minyak sawit itu dibesar-besarkan untuk menutupi kelemahan minyak nabati milik mereka (Eropa)," tegas Posman.

Sementara itu, Guru Besar IPB University Purwiyatno Hariyadi mengungkapkan sawit sebagai bahan makanan berkontribusi dalam pemecahan masalah gizi dunia, namun ada beberapa tantangan yang harus diatasi oleh industri sawit di antaranya keamanan pangan, kesehatan dan sustainability.

"Kita harus pastikan produk turunan sawit memenuhi persyaratan keamanan pangan. Sampai sekarang, sekitar 75-85 persen penggunaan sawit untuk sektor pangan," ujar dia.

Oleh sebab itu, jika ada persoalan pangan terhadap konsumen, maka akan berpengaruh pada citra sawit secara keseluruhan apalagi di dunia, tuntutan keamanan pangan sudah menjadi kebutuhan.

"Kita punya tanggung jawab moral bahwa sawit itu memenuhi standar keamanan pangan dan tanggung jawab ini juga berlaku pada konsumen dalam negeri karena Indonesia merupakan konsumen nomor satu kelapa sawit di dunia," ujarnya.

Ke depan, Indonesia perlu menyusun roadmap dalam penanganan isu kesehatan di kelapa sawit, selain itu, pemerintah perlu membuat program nasional untuk memastikan produk kelapa sawit yang beredar di Indonesia mempunyai kandungan 3-MCPD dan GE rendah.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Sri Raharjo menjelaskan bahwa kandungan fitonutrien di dalam minyak sawit merah seperti tokoferol, tocotrienol, dan karoten sangat bermanfaat untuk meningkatkan sistem daya tahan tubuh di kala pandemi.

Sementara itu, R&D Product Appication Manager Apical Group Fajar Marhaendra menyatakan pihaknya berkomitmen menghasilkan produk pangan yang low trans dan zero trans.

Saat ini, juga dikembangkan teknologi inter-esterifikasi enzimatis dengan tujuan menghasilkan produk lebih sehat, tanpa asam lemak, dan ramah lingkungan.

Dari aspek sustainability, tambahnya, perusahaan memberikan solusi terbaik untuk memastikan konsumen membeli produk yang mengandung minyak sawit berkelanjutan dan tersertifikasi.

Baca juga: Airlangga sebut sawit proyek strategis nasional yang harus dijaga
Baca juga: RI akan ofensif lawan kampanye hitam sawit

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021