Jakarta (ANTARA) - Ahli hukum sekaligus pengacara Rufinus Hotmolana Hutahuruk berpendapat penggunaan tanda tangan peserta pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) oleh petugas atau penyelenggara pemilu tanpa izin yang bersangkutan masuk pada ranah pidana.

"Menurut pandangan saya patut diduga telah terjadi pemalsuan dan masuk ranah pidana," kata dia saat menjadi saksi ahli pada sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir 2020 yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual yang dipantau di Jakarta, Rabu.

Hal itu ia sampaikan menanggapi pengakuan salah seorang saksi dari pihak pemohon yang bernama Hendra Gunawan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, dimana tanda tangan daftar hadirnya di TPS ditandatangani oleh petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Padahal saksi tersebut mengaku telah menanyakan pada petugas terkait isian tanda tangan daftar hadir namun petugas KPPS malah mengarahkan langsung untuk mencoblos.

Baca juga: Sidang MK, Dirjen Dukcapil jelaskan data penduduk ganda

Kejadian tersebut langsung dikonfirmasi oleh Hakim Suhartoyo dan menanyakan kepada pihak termohon. Pihak termohon membenarkan bahwa tanda tangan Hendra Gunawan ditandatangani oleh salah seorang petugas KPPS.

Berdasarkan keterangan saksi tersebut Rafinus menilai tindakan yang dilakukan oleh petugas KPPS yang mengatakan tidak perlu mengisi daftar hadir merupakan perbuatan melanggar hukum dan bisa masuk ranah pidana serta pelanggaran administrasi.

Lebih jauh, jika persoalan tersebut ditarik ke ranah proses pemilihan, maka contoh kasus itu berkemungkinan besar bisa digunakan untuk mengurangi atau menambah suara pihak-pihak tertentu.

"Daftar hadir itu salah satu syarat yang tidak boleh kita abaikan," kata dia yang juga salah satu Ketua Poksi di DPR pada waktu pembentukan UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Baca juga: Hakim MK ingatkan saksi yang diadirkan untuk sengketa pilkada relevan

Secara umum, ia menilai Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tersebut memiliki banyak kelemahan. Sebelumnya, Rafinus mengatakan sempat meminta supaya ada hukum acara peradilan pemilu pada undang-undang tersebut.

Namun, ketika permintaan itu disodorkan ke MK, Mahkamah Agung (MA) hingga kalangan akademisi hingga saat ini belum diakomodir.

"Hari ini saya merasa sangat berkepentingan agar hakim yang mulia di MK berfungsi sebagai penyelidik, penyidik, penuntut umum maupun yang memutus perkara," katanya.

Baca juga: Saksi jelaskan pelanggaran penggunaan bansos dalam Pilkada Kalsel

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021