Bentuk gratifikasi bukan hanya uang dan barang tetapi bisa juga pinjaman tanpa bunga, pengobatan cuma-cuma, komisi, rabat/diskon, fasilitas penginapan, tiket perjalanan dan fasilitas lainnya
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar sosialisasi tentang gratifikasi secara serial kepada jajaran komisaris, direksi, dan sekitar 700 pegawai PT MRT Jakarta (Perseroda) yang digelar secara daring mulai 3 hingga 9 Maret 2021.

"Bentuk gratifikasi bukan hanya uang dan barang tetapi bisa juga pinjaman tanpa bunga, pengobatan cuma-cuma, komisi, rabat/diskon, fasilitas penginapan, tiket perjalanan dan fasilitas lainnya," kata Plt Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK Syarief Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Secara rinci, KPK juga menjelaskan delik-delik dari Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang acap kali disangkakan terkait gratifikasi.

Delik-delik tersebut adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara, menerima gratifikasi, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dan tidak melaporkan gratifikasi dalam 30 hari.

"Pengertian pegawai negeri atau penyelenggara negara itu mengalami perluasan. Misalnya, sebagian atau seluruh modal yang ada di perusahaan apabila berasal dari APBN/APBD dan atau gaji pegawainya bersumber dari APBN/APBD maka dapat dinyatakan sebagai pegawai negeri," tutur Syarief.

KPK juga menyampaikan komitmen untuk mendampingi PT MRT Jakarta dalam upaya pencegahan korupsi.

Baca juga: KPK: Laporkan jika temukan pengadaan barang jasa salahi ketentuan

Baca juga: KPK amankan dokumen geledah rumah tersangka penyuap Nurdin Abdullah


PT MRT Jakarta pada kesempatan sama juga menyampaikan apa yang sudah diterapkan dalam program pengendalian gratifikasi.

Berdasarkan Peraturan Direksi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi bahwa insan perseroan diwajibkan melaporkan gratifikasi baik itu menerima, menolak atau memberi berdasarkan permintaan.

Berdasarkan data pelaporan gratifikasi PT MRT Jakarta pada 2020, KPK mencatat terdapat empat laporan penerimaan gratifikasi dengan nilai Rp5 juta, 20 laporan penolakan gratifikasi dengan nilai Rp13,3 juta, dan satu laporan penerimaan honor resmi dengan nilai Rp2 juta.

Seluruh laporan telah diserahkan ke KPK dan terverifikasi oleh Unit Pengelola Gratifikasi (UPG) melalui aplikasi Gratifikasi Online (GOL).

Sementara Komisaris Utama PT MRT Jakarta M Syaugi mengusulkan pentingnya efek jera untuk pemberi gratifikasi.

Merespons masukan tersebut, KPK menyarankan agar sikap penolakan terhadap gratifikasi dari manajemen dan pegawai PT MRT Jakarta perlu dipublikasikan secara optimal dan berkelanjutan untuk mengurangi potensi pemberian dari pihak manapun.

Sementara Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar menyampaikan pentingnya para kepala divisi dan kepala bagian mendapatkan pemahaman yang lengkap tentang gratifikasi.

Hal itu dikarenakan besarnya anggaran pengadaan pembangunan fase II, yaitu mencapai Rp7-8 triliun dan proyek tersebut termasuk salah satu proyek strategis nasional.

"Kami sudah mengimplementasikan ISO 37001: 2016 dan mewajibkan vendor juga melakukan hal tersebut. Kami juga sudah meminta pendampingan proses pengadaan fase II ini kepada BPKP, Kejaksaan Agung dalam hal ini Jamdatun dan KPK," ujar William.

Menjadi rangkaian kegiatan sosialisasi, M Syaugi membacakan komitmen penerapan program pengendalian gratifikasi.

Baca juga: KPK amankan dokumen geledah tiga rumah di Tanjungpinang Kepri

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021