Jakarta (ANTARA) - Rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur yang telah diputuskan Presiden Joko Widodo pada akhir Agustus 2019, seolah surut di tengah hantaman pandemi COVID-19.

Pemberitaan, kabar dan informasi atas upaya maupun kajian persiapan pemindahan ibu kota, tenggelam oleh berita-berita penanganan pandemi.

Publik tentu bertanya-tanya bagaimana sebetulnya tindak lanjut rencana tersebut? Apakah pemerintah tetap pada keputusan memindahkan ibu kota negara?

Sekadar mengingatkan, wacana pemindahan ibu kota secara gamblang disampaikan Presiden pada Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2019 di parlemen.

Pada kesempatan itu Presiden meminta izin dan dukungan dari anggota parlemen dan rakyat Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.

Selanjutnya pada 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusan pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, yang kemudian banyak mendapat sambutan positif berbagai pihak.

Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur diputuskan akan menjadi ibu kota baru menggantikan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Setidaknya ada lima alasan yang disebutkan Presiden terkait pemilihan dua wilayah tersebut sebagai ibu kota negara yang baru.

Pertama, risiko bencana seperti banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan maupun gunung berapi dan tanah longsor di dua wilayah itu jauh lebih minim dibandingkan wilayah lain di Indonesia.

Kedua, lokasi tersebut berada tepat di tengah-tengah Indonesia sehingga dianggap ideal sebagai ibu kota negara.

Ketiga, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yaitu Balikpapan dan Samarinda.

Keempat, dua wilayah tersebut memiliki infrastruktur lumayan lengkap. Sementara alasan kelima, di wilayah itu tersedia 180 ribu hektare lahan yang dikuasai pemerintah.

Menurut Presiden, pemerintah sudah melakukan kajian-kajian mendalam soal pemindahan ibu kota negara dan diintensifkan setidaknya sejak 2016.

Hasil kajian menyimpulkan lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Pemindahan ibu kota yang sebelumnya hanya dianggap sebagai wacana pun serta merta berubah menjadi sebuah rencana besar. Pemerintah bahkan menargetkan pada 2024 langkah-langkah pemindahan ibu kota sudah mulai bisa dilakukan.

Apa daya, kenyataan berkata lain. Pada akhir 2019 muncul virus COVID-19 di Wuhan, China, yang dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia dan berubah menjadi pandemi global.

Situasi ini membuat pemerintah harus membagi perhatian terhadap penanganan pandemi.

Tentu saja hal ini dapat sangat dimaklumi, terlebih Presiden sudah menegaskan komitmennya mengedepankan keselamatan rakyat diatas apapun.

Namun, dibalik keriuhan upaya penanganan pandemi, Presiden rupanya tetap memikirkan hal-hal yang telah diputuskan pemerintahannya, termasuk soal pemindahan ibu kota.

Baca juga: Jokowi yakin perpindahan ibu kota baru terlaksana pada 2024

Presiden bekerja keras
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi sekaligus Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman saat menjadi pembicara kunci pada Dialog Progresif I dengan tema Kaltim Roadmap: IKN untuk Indonesia Maju, mengungkapkan fakta terbaru soal pemindahan ibu kota negara.

Fadjroel mengakui kabar mengenai pemindahan ibu kota memang sayup setahun belakangan, karena adanya hantaman pandemi COVID-19.

Tetapi Fadjroel mengungkapkan Presiden RI Joko Widodo tetap bekerja keras dalam mewujudkan keinginan masyarakat Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara ke tempat yang baru di Kalimantan Timur. Menurut Fadjroel, sepanjang setahun terakhir ini, Presiden Joko Widodo secara fisik memang belum datang ke daerah calon ibu kota baru.

Akan tetapi, kata Fadjroel, Presiden tetap bekerja menyelesaikan problem-problem terkait dengan pemindahan ibu kota.

Fadjroel menjelaskan bahwa ibu kota negara memang harus dipindahkan. Sebab, masalah yang ada di ibu kota DKI Jakarta saat ini cukup rumit.

Misalnya masalah populasi yang melebihi daya tampung lahan di DKI Jakarta yang berdampak pada isu lingkungan, penggunaan lahan untuk perumahan, sampai masalah sosial sehari-hari.

Selanjutnya soal desain tata kota. Berdasarkan kajian pakar tata kota, 80 persen tata kota di DKI Jakarta salah.

Selain itu keberadaan ruang terbuka hijau berdasarkan data Kementerian PUPR pada tahun 2019 hanya 9,8 persen dari minimal 30 persen luas wilayah.

Sedangkan persoalan lainnya adalah DKI Jakarta telah menjadi simbol sentralisme di mana selama ini ibu kota DKI Jakarta telah menjadi pusat isu ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Hal-hal tersebut, kata Fadjroel, berdampak pada stagnasi di DKI Jakarta. Kompleksitas masalah di DKI Jakarta akhirnya kian membebani perbaikan tata kota.

Dia menyontohkan, dampak banjir, masalah sosial seperti kriminalitas hingga kerusakan lingkungan menjadi sulit teratasi. Kondisi ini menjebak pada kondisi stagnan dalam memajukan kota.

Selain itu, sebagai pusat dan model bagi dinamika politik, masalah cara kerja negatif seperti kebiasaan korupsi dan kinerja lamban memberi pengaruh pada cara kerja nasional.

Demikian pula dengan ketidakmerataan. Secara fakta historis, Jakarta menjadi pusat politik, ekonomi, dan kebudayaan yang selama ini tidak memberi cukup peluang daerah lain berkembang.

Pemerataan pembangunan semua dimensi terkendala oleh fakta bahwa Jakarta mengontrol ekonomi, politik, dan budaya.

Sehingga ibu kota baru adalah transformasi, baik pada sistem kerja, lingkungan, dan ekonomi. Perubahan secara fundamental dari sistem dan budaya dalam bidang ekonomi, birokrasi pemerintahan serta lingkungan.

Oleh sebab itu, Fadjroel menekankan pemindahan ibu kota negara sebagai upaya penting dalam mengubah sistem dan budaya lama yang buruk menjadi sistem dan budaya yang berkualitas untuk mencapai Indonesia Maju.

Dia meyakini pemindahan ibu kota negara akan menjadi titik balik perubahan sistem kerja berbasis pada teknologi digital, efektif dan efisien, hingga etos dan komitmen dalam pelayanan atau smart city.

Dia juga menyampaikan pemindahan ibu kota sebagai penanda perubahan pengelolaan kota berbasis pada perawatan dan perlindungan lingkungan hijau/green city, baik hutan, flora dan fauna, serta adat istiadat dan budaya, serta juga menjadi upaya pemerataan ekonomi nasional sehingga terbentuk kekuatan bangsa secara merata.

Baca juga: Bappenas: Ada Covid-19, ibu kota pindah sesuai rencana

Tahap finalisasi
Rencana pemindahan ibu kota negara Indonesia di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sudah memasuki tahap finalisasi.

Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas Suharso Monoarfa saat rapat akhir tahun (2020), sebagaimana diungkapkan Wakil Bupati Penajam Paser Utara Hamdam.

Hamdam mengatakan Rancangan Undang-Undang ibu kota baru sudah selesai dan telah masuk antrean program legalisasi nasional untuk menjadi prioritas pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat.

Rancangan utama dan rencana detail ruang ibu kota baru juga telah dirampungkan oleh Kementerian Bappenas.

Seluruh persyaratan untuk pemindahan ibu kota negara Indonesia tersebut menurut Hamdam, tinggal menunggu keputusan politik Kepala Negara dan penetapan atau pengesahan regulasi dari DPR RI.

Badan Otorita untuk mengurus seluruh rencana pemindahan ibu kota negara Indonesia juga telah siap dan tinggal penentuan calon Ketua Badan Otorita.

Kementerian Bappenas, kata Hamdam, menyatakan pembangunan ibu kota negara baru di wilayah Provinsi Kalimantan Timur, bisa dilakukan kapan saja, sesuai keputusan politik dari Presiden Joko Widodo.

Bagi Hamdam, hal ini merupakan kabar baik, karena penyusunan induk pembangunan kawasan ibu kota baru terus berlanjut.

Menurut Hamdam, di tengah pandemi COVID-19 pemerintah pusat tetap serius menyelesaikan hal-hal terkait persiapan pemindahan ibu kota negara Indonesia.

Baca juga: Bappenas: Ibu kota negara pindah sesuai rencana meski ada COVID-19

Momentum
Presiden Joko Widodo bukan sosok pemimpin yang mudah menyerah pada keadaan. Kepala Negara tercatat sudah berulang kali meminta seluruh jajaran pemerintah, pihak swasta, hingga masyarakat menjadikan pandemi COVID-19 sebagai sebuah momentum.

Momentum yang dimaksud Presiden berkaitan dengan memanfaatkan keadaan tersulit untuk menggapai perubahan ke arah yang lebih baik. Sebuah perubahan yang spektrumnya luas dalam berbagai aspek.

Mulai dari momentum perubahan perilaku masyarakat menjaga kebersihan, kemudian momentum di segala bidang untuk masuk secara masif kepada penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif dan efisien berbasis digital, hingga hal-hal lainnya.

Yang cukup menarik adalah pandemi COVID-19 juga dapat menjadi momentum positif dalam rencana pemindahan ibu kota.

Agaknya ini yang tengah dipikirkan Kepala Negara saat ini. Sebagaimana disampaikan Fadjroel, Presiden tengah berupaya keras mewujudkan cita-cita pemindahan ibu kota.

Mungkin hanya tinggal menunggu waktu yang tepat hingga Presiden kembali menggaungkan rencana pemindahan ibu kota kepada publik.

Dalam bayangan awam, kebiasaan-kebiasaan atau hal-hal baik yang muncul selama pandemi, semestinya dapat berdampak baik guna memudahkan upaya pemindahan atau bahkan penyelenggaraan ibu kota baru nantinya.

Kesadaran publik menjaga kebersihan, pesatnya perkembangan dan penggunaan teknologi di berbagai bidang, penyelenggaraan pemerintahan berbasis digital di berbagai sektor yang sudah mulai dan terus dibangun, harus terus dijaga dan ditingkatkan, sehingga kelak langsung dapat diimplementasikan di ibu kota baru.

Intinya keterbatasan sekaligus keuntungan yang muncul selama pandemi harus dimanfaatkan sebaik mungkin dalam tujuan memindahkan ibu kota.

Sehingga pada akhirnya ibu kota baru menjadi ibu kota yang sangat ideal dengan masyarakat yang berpikiran modern, sehingga mampu bersanding dengan ibu kota negara-negara maju.

Baca juga: Jakarta diusulkan jadi kota bisnis-riset jika ibu kota pindah

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021