Jakarta (Antara) -- Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia di awal tahun 2020 hingga saat ini berdampak pada pada melonjaknya klaim pada sejumlah lini bisnis reasuransi. Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) lonjakan klaim reasuransi yang paling mencolok terjadi pada lini bisnis reasuransi kredit sebesar Rp5,9 triliun atau naik 617,2 persen, reasuransi penerbangan sebesar Rp96 miliar atau naik 227,4 persen, dan reasuransi energi off shore sebesar Rp199 miliar atau naik 191 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Mengacu pada laporan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), berbeda dari laporan kinerja reasuransi umum, klaim asuransi umum justru tidak terlalu melonjak. Asuransi kredit hanya naik 4,5 persen atau sebesar Rp10,7 miliar, jauh berbeda dengan klaim di sektor reasuransi yakni hingga Rp5,9 triliun. Hanya sektor asuransi liability yang mencatatkan kenaikan cukup mencolok yakni sebesar Rp148,2 persen.

Bercermin pada tingginya klaim reasuransi selama 2020, salah satu perusahaan reasuransi nasional, Tugure, mendorong adanya mitigasi risiko antar para pelaku industri asuransi dan reasuransi guna mencegah melesatnya klaim reasuransi lebih tinggi lagi, mengingat pandemi Covid-19 masih belum terlihat akan berakhir. 

Direktur Operasional Tugure Erwin Basri menyatakan, tingginya angka klaim reasuransi kredit selama 2020 tidak lain disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini. Dan sektor reasuransi jadi salah satu sektor yang paling babak belur karena menjadi bumper terakhir dari klaim asuransi kredit.

"Untuk itu, Tugure memandang industri perlu melakukan stress test atas potensi kenaikan klaim Kredit pada saat program restrukturisasi kredit berakhir di tahun 2022," ujarnya saat dihubungi ANTARA beberapa waktu lalu.

Selain itu, lanjutnya, pihaknya bersama-sama dengan mitra bisnis utamanya di lini bisnis kredit saat ini sedang melakukan kajian dan simulasi bersama untuk mengantisipasi worst case scenario nya beserta perhitungan kecukupan cadangan teknis.

"Tugure juga menekankan agar peningkatan risiko kredit ini perlu diantisipasi dengan meninjau kembali syarat dan ketentuan asuransi serta penetapan tingkat premi yang adequate," tambahnya.

Prinsip kehati - hatian dalam pengelolaan risiko harus tercermin dalam proses penyeleksian risiko dan pembentukan cadangan teknis. Prinsip kehati hatian tentu juga harus berlaku kepada Bank atau lembaga pembiayaan lainnya dalam pelaksanaan penyaluran kreditnya.

Erwin menambahkan, mitigasi risiko kredit perbankan jangan hanya dipindah ke asuransi dan selanjutnya reasuransi. Sebab bank sebagai kreditur pun harus selektif dalam memberikan kredit mulai dari langkah Know Your Customer (KYC), pendalaman proyek, proses due diligence, hingga agunan kredit. Ekosistem industri asuransi harus tetap dijaga agar tetap seimbang dan sehat guna memastikan keberlangsungan usaha. 

"Selain itu, kami pun berharap adanya dukungan dari pihak regulator dan asosiasi untuk membantu mencarikan win-win solution bagi kedua industri," tuturnya. 

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif AAUI Dody A.S. Dalimunthe mengamini, upaya mitigasi dan perhitungan yang sesuai antara perusahaan asuransi dan reasuransi untuk membagi risiko atas reasuransi kredit.

"Inilah mitigasi risiko, mengecek kondisi pencadangan, loss ratio, termasuk penempatan reasuransi. Makanya di reasuransi terjadi peningkatan klaim, ini bagian dari reasuransi kredit. Sebagai balancing, maka restrosesinya juga meningkat," ungkap dia.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2021