Jakarta (ANTARA) - Skenario rekonsiliasi, di mana masyarakat internasional termasuk ASEAN, berhasil membujuk militer Myanmar untuk mengembalikan kekuasaan kepada pemerintahan sipil, dinilai sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan krisis politik di negara itu.

Skenario ini merupakan salah satu dari empat solusi yang dipaparkan oleh peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Rizal Sukma dalam kolom opininya di sebuah harian nasional, yang dinilai oleh Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum paling ideal untuk menanggapi krisis di Myanmar saat ini.

“Saya pikir skenario ini adalah sesuatu yang mungkin bisa diterapkan  tetapi mengharuskan militer untuk mundur dan bernegosiasi dengan NLD,” ujar Yuyun dalam konferensi pers daring berjudul “40 Days under Military Coup in Myanmar and Civil Disobedience Movement: Can Democracy Win?” pada Jumat, dengan rujukan kepada partai pemenang pemilu Myanmar, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Dalam opini yang ditulisnya, Sukma menjelaskan bahwa skenario rekonsiliasi dimulai dengan proses reformasi militer, di mana para pemimpin politik sipil ataupun militer memulai proses negosiasi mengenai peran dan tempat militer dalam negara Myanmar yang demokratis. Skenario itu mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia pada 1998-1999.

Namun, pengembalian kekuasaan kepada pemerintah sipil harus terlebih dahulu disertai pengampunan atau amnesti kepada pelaku kudeta 1 Februari, oleh NLD sebagai pemenang pemilu November tahun lalu.

“Salah satu pembahasan dalam negosiasi adalah amnesti, yang mungkin banyak masyarakat di Myanmar tidak akan setuju,” kata Yuyun, menyampaikan pandangannya.

Yuyun juga berpendapat skenario itu tidak akan disukai rakyat Myanmar dan mungkin juga banyak masyarakat Indonesia, mengingat tingkat kemarahan yang ada saat ini, di mana militer Myanmar telah menggunakan kekerasan yang meluas untuk merespons unjuk rasa menentang kudeta.

“Tetapi itu lah salah satu cara untuk keluar dari perselisihan  dan skenario yang lebih bisa dijalankan, di mana sebenarnya NLD sebagai pemenang pemilu bisa tetap berkuasa dan bisa memerintah negara meskipun dengan sejumlah syarat yang diajukan oleh militer,” kata Yuyun.

Setelah 40 hari sejak kudeta, lebih dari 2.000 orang di Myanmar dilaporkan telah ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang dan lebih dari 60 orang tewas.

Penggunaan kekerasan oleh aparat Myanmar telah mendapat kecaman internasional dan membuat rakyat di negara itu semakin putus asa.

Seorang aktivis Myanmar, Tint Zaw Hein, menyuarakan perlawanannya terhadap kediktatoran militer dan meminta masyarakat internasional tidak melegitimasi pemerintahan yang dipimpin militer saat ini.

“Jangan melegitimasi Tatmadaw, jangan memberikan visa, jangan berhubungan dengan mereka. Tolong dukung rakyat Myanmar untuk melawan Tatmadaw,” kata dia, merujuk pada sebutan untuk militer Myanmar.

Seperti halnya para pengunjuk rasa yang turun ke jalan hampir di seluruh Myanmar, Zaw Hein meyakini bahwa demokrasi adalah yang paling dibutuhkan oleh negaranya.

“Demokrasi adalah masa depan kita. Demokrasi harus menang supaya terbentuk negara yang adil. Dan kami membutuhkan semua orang orang untuk menunjukkan solidaritas (dengan rakyat Myanmar) agar generasi berikutnya tidak hidup dalam kegelapan,” kata Zaw Hein.

Baca juga: Penggunaan kekerasan oleh militer Myanmar disebut telah terkoordinasi

Baca juga: Penangkapan 600 perempuan, UN Women kutuk kekerasan di Myanmar

Baca juga: DK PBB bergumul dengan keputusan tindakan atas kudeta Myanmar

 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021