Padang (ANTARA) - Siapa menyangka secangkir kopi arabika yang tengah dinikmati pengunjung di sejumlah kafe di Amerika Serikat  merupakan hasil budi daya petani dari dataran tinggi Nagari Air Dingin, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

Sebelumnya kopi dari Air Dingin tak pernah diperhitungkan. Namun, sejak 2014 semua berubah. Daerah yang berada di Kecamatan Lembah Gumanti itu menjelma jadi salah satu sentra kopi baru mengusung nama Solok Radjo.

Nagari Air Dingin berada di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, berjarak 60 kilometer dari Kota Padang, kini dikenal sebagai salah satu penghasil jenis kopi spesial terkemuka dari Ranah Minang yang menembus pasar Amerika Serikat.

Awal mula kebangkitan kopi di daerah itu berkat inisiatif sejumlah anak muda yang memilih pulang kampung dan ingin berkontribusi membangun nagari. Mereka adalah Alfadrian Syah, Teuku Firmansyah dan sejumlah rekannya.

Alfadrian atau akrab disapa Adi menggagas pendirian Koperasi Solok Radjo yang memfasilitasi pembelian kopi dari petani, membimbing petani untuk membudidayakan kopi secara profesional, melakukan pengolahan pascapanen yang tepart hingga memasarkannya.

Kini tak kurang dari 18 ton kopi jenis arabika diproduksi oleh petani binaan Koperasi Solok Radjo setiap tahun, hasil dari 168 ribu batang kopi yang telah ditanam.

Kopi arabika Solok Radjo yang ditanam di daerah itu berasal dari varietas Sigarar Utang dan Kartika.

Dari segi rasa, kopi arabika Solok Radjo naik daun setelah dilakukan uji cicip (cupping test) oleh penguji cita rasa kopi atau Q Grader pada 2013 dengan nilai di atas 85.

Pada 2014 kopi Solok Radjo kembali berjaya karena mendapatkan skor tinggi pada uji cicip di Thailand dan dua tahun berturut-turut pada 2016-2017 kembali unggul pada uji cicip di Melbourne Australia.

Karakter rasanya pun diakui oleh para Q Grader pencicip cita rasa kopi sehingga mendapatkan rekomendasi untuk terus dikembangkan dan layak dipasarkan hingga ke luar negeri.

Rasa paling menonjol dari Kopi Solok Radjo adalah lemon, coklat hingga rasa manis di ujung lidah sehingga untuk menikmatinya tak perlu dicampur gula.


Pulang kampung

Pengembangan kopi Arabika Solok Radjo bermula saat Adi dan kawan-kawan memutuskan pulang ke kampung untuk membangun dan mengembangkan potensi nagari.

Kebetulan mereka dipersatukan oleh hobi yang sama yaitu suka ngopi dan kampung halaman mereka secara geografis mendukung budi daya kopi.

Adi pun memutuskan mendirikan Koperasi Solok Radjo dan mengajak sejumlah petani bergabung.

Nama Solok Radjo berasal dari dua kata yaitu Solok daerah kampung halaman dan Radjo yang berarti raja sesuai dengan impian mereka menjadi pemimpin dalam soal perkopian.

Awalnya, pada 2014  hanya ada delapan petani yang mau bergabung, namun tetap bersyukur karena lebih banyak butuh modal besar untuk membeli kopi mereka.

Saat itu petani belum paham bagaimana budi daya kopi yang benar. Bahkan untuk panen saja mereka mencampur buah (chery) kopi arabika dengan robusta sehingga satu kilogram hanya dihargai Rp1.500.

Secara perlahan, Adi dan kawan-kawan memberikan edukasi kepada petani bagaimana mengelola kopi dengan benar. Mulai dari pemupukan menggunakan kompos, menanam pohon naungan hingga hanya memanen buah yang telah berwarna merah.

Pohon kopi yang sudah ada direhabilitasi kembali, dilakukan pemangkasan hingga pemupukan dengan bahan organik sampai perbaikan standar panen.

Kendati tidak memiliki latar soal kopi, hanya berbekal pernah kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Andalas (Unand) Adi dan kawan-kawan punya semangat tinggi untuk belajar.

Berdiskusi dengan banyak pihak, berguru ke sana ke mari mereka pun mencoba melakukan pengolahan pascapanen dengan benar.

Hingga akhirnya menemui Mira Yudhawati, seorang Q Grader atau penguji cita rasa kopi untuk meminta mencicip kopi dari Air Dingin.

Ternyata nilai skornya di atas 80 atau masuk kategori kopi spesialti sehingga layak dikembangkan

Sejak saat itu kepercayaan diri Adi dan kawan-kawan bangkit begitu mengetahui kualitas kopinya bagus.

Harga buah pun naik dan kini mencapai Rp6.000 per kilogram. Sebenarnya yang dilakukan Adi bukan mengatrol harga melainkan menyamakanya dengan sentra kopi lainnya dengan kualitas yang juga sama.

Untuk mendampingi petani Koperasi Solok Radjo merekrut penyuluh yang terus membina para petani agar bisa membudidayakan kopi dengan baik.
Petugas melakukan pengecekan kopi yang dijemur di Koperasi Solok Radjo di Nagari Air Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. (Antara/Ikhwan Wahyudi)


Berkembang

Upaya yang dilakukan Adi terus berkembang. Pada 2019 tak kurang dari Rp3 miliar uang yang mereka keluarkan untuk membeli kopi dari petani di daerah itu.

"Bisa dibayangkan perputaran uang sebesar itu amat besar dan tentu saja kalau kami tidak mulai pada 2014 tak akan ada," katanya.

Berdasarkan data yang dihimpun pada 2019 tak kurang dari 168 ribu batang kopi di Nagari Air Dingin. Petani yang dulu menanam markisa sekarang beralih ke kopi.

Kini petani setidaknya setiap hari bisa memanen kopi karena karakter kopi dapat dipetik terus khususnya buah yang telah masak.

Dari hasil penjualan mereka bisa menggunakan untuk biaya makan sehari-hari hingga biaya sekolah anak.

Produktivitas ideal satu batang kopi adalah 6 sampai 7 kilogram per tahun namun dari surveinya di Nagari Air Dingin baru 1,03 kilogram untuk buah merah atau chery.

Sejak 2014 pemasaran dibagi dua yaitu lokal mulai dari Sumatera, Jawa hingga Bali serta pasar ekspor yaitu Amerika Serikat, Jepang, Korea dan Australia.

Untuk mendampingi petani Koperasi Solok Radjo menyiapkan hingga tujuh orang ahli budi daya tanaman yang bertugas melakukan penyuluhan kepada petani hingga penelitian.

Tak hanya itu untuk memastikan pengolahan pasca panen berjalan baik ia pun membentuk tim kontrol yang ketat mengawasi setiap tahapan mulai dari penjemuran hingga menjadi green bean atau biji kopi yang siap didistribusikan.

Saat ini harga 1 kilogram "green bean" dimulai dari Rp60 ribu per kilogram tergantung negosiasi.

Selisih harga beli dari petani dengan harga jual green bean digunakan untuk membiayai penyuluh, bibit, hingga proses pasca panen.

Untuk bibit tak kurang dari 100 ribu batang yang dibagikan per tahun dan untuk pemasaran produk pihaknya sudah punya pembeli yang siap menampung berapa pun.

Kemajuan Koperasi Solok Radjo tak bisa dilepaskan dari andil Dinas Perkebunan Sumbar yang pada awalnya memberikan banyak bantuan hingga pendampingan.

Selain itu pihaknya juga dibantu oleh Dinas Kehutanan Sumbar dalam rangka memperluas lahan lewat program perhutanan sosial.

Bank Indonesia perwakilan Sumbar juga turut memberikan pendampingan hingga bantuan rumah pengering dan mesin pemanggang kopi.

Kini Koperasi Solok Radjo telah memiliki lima lini usaha yaitu Tesora yang bergerak di biang hilirisasi kopi, perkebunan kopi, agronomis yang fokus melakukan penelitian dan pengembangan, koperasi yang bergerak di bidang pascapanen serta Radjo Project yang melakukan prosesing dan pembelian kopi.

Adi dan kawan-kawan meyakini kopi selain memberi manfaat bagi rakyat juga bermanfaat bagi bumi.

Sebab kopi harus memiliki pohon naungan sehingga lingkungan kembali dihijaukan dengan menanam pohon pendamping mula dari lamtoro hingga kayu manis.

Artinya hanya kopi yang bisa mendorong orang peduli lingkungan karena harus ada pohon naungan, tujuannya agar pohon kopi terlindungi mengingat curah hujan tinggi sekali sehingga mengurani pencucian tanah.
Kopi arabika Solok Radjo (Antara/Igoy El Fitra)


Dukungan

Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar saat ini terdapat 27 ribu hektare lahan kopi di daerah itu terdiri atas robusta 17 ribu hektare dan arabika 10 ribu hektare.

"Dalam dua tahun terakhir kopi di Sumbar tumbuh pesat," kata Kabid Perkebunan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar Gusnadi Abda.

Kendati sempat terhambat pada 2020 karena ada pandemi COVID-19 namun saat ini kopi sudah menggeliat lagi dan kedai-kedai kopi kembali ramai.

Kualitas kopi dari Sumbar tidak kalah dengan daerah lain karena berdasarkan informasi dari para penguji cita rasa kopi Sumbar rasanya bisa bersaing.

Pada 2021 melalui dana pemerintah pusat fokus mengembangkan 200 hektare lahan baru dan dari dana pokok pikiran anggota DPRD 473 hektare.

Dalam dua tahun terakhir kopi arabika di Sumbar tumbuh pesat bahkan berdasarkan pengakuan para pencicip cita rasa kopi ada yang kurang jika tidak ada kopi dari Sumbar.

Saat pandemi COVID-19 budi daya kopi di Sumbar sempat turun namun saat ini kopi sudah menggeliat lagi dan kedai-kedai kopi kembali ramai.

Dulu, kopi yang dikembangkan petani lebih banyak robusta, namun dalam beberapa tahun terakhir mulai beralih ke arabika karena kualitas yang baik dan memenuhi standar ekspor.

Daerah lain yang akan dikembangkan kopi arabika adalah Kabupaten Agam, Tanah datar, Pasaman dan Limapuluh Kota.

Kopi arabika sedapat mungkin ditanam di daerah dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut karena akan mempengaruhi kualitas rasa.

Total produksi kopi di Sumbar untuk arabika mencapai 6.000 ton dan robusta 9.000 ton per tahun.

Salah satu kendala yang dihadapi petani saat ini adalah memperbaiki sistem budi daya agar kopi olahan punya standar yang sama.

Untuk itu, petani harus melaksanakan prosedur yang benar dan tepat dalam bertanam kopi karena akan mempengaruhi cita rasa.

Kopi telah menjadi komoditi andalan bagi sebagian besar masyarakat di sejumlah wilayah di Indonesia, tidak terkecuali di Nagari Air Dingin, Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang terbukti telah berhasil menembus pasar kopi internasional.

Namun, yang juga mennjadi sangat penting adalah bagaimana komoditas ini dapat menjadi sektor andalan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat.

Baca juga: Kopi Solok, dari pinggiran Danau Kembar menuju pasar global
Baca juga: Mengintip pengolahan kopi Solok dari kebunnya


 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021