Jakarta (ANTARA) - Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 akhirnya disetujui DPR dalam Rapat Paripurna pada Selasa (23/3), setelah nasibnya terkatung-katung sejak akhir tahun 2020.

Prolegnas Prioritas 2021 sebenarnya sudah dibahas dalam tiga kali masa sidang yaitu Masa Sidang II Tahun Sidang 2020-2021, Masa Persidangan III Tahun Sidang 2020-2021, dan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2020-2021.

Pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2020-2021 Prolegnas Prioritas 2021 baru dapat disahkan DPR setelah sebelumnya melewati pembahasan yang panjang antara DPR, pemerintah, dan DPD RI.

Proses penetapan Prolegnas Prioritas 2021 sebenarnya sudah dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR pada 17 November 2020 telah menginventarisir 37 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Dan dilanjutkan dengan Rapat Panja Baleg DPR RI pada tanggal 25 November yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan perwakilan DPD RI, dengan agenda penetapan Prolegnas Prioritas 2021.

Dalam Rapat Panja pada tanggal 25 November 2020 tersebut, Baleg telah menginvetarisasi 38 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Dari 38 RUU tersebut dengan rincian 26 RUU usulan dari DPR, 10 RUU usulan dari pemerintah dan 2 RUU usulan dari DPD RI.

Namun rapat tanggal 25 November tersebut belum berhasil mengambil kesepakatan terkait Prolegnas 2021 dan direncanakan pengambilan keputusan pada Jumat (27/11), namun rapat batal.

Hingga akhir penutupan Masa Sidang II Tahun Sidang 2020-2021 pada 11 Desember 2020, keputusan akhir terkait 38 RUU tersebut belum tercapai sehingga penetapan Prolegnas Prioritas 2021 harus ditunda.

Pembahasan pun berlanjut, Baleg DPR menggelar Rapat Kerja (Raker) bersama pemerintah yang diwakili Menkumham, dan Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) DPD RI pada Kamis (14/1).

Raker tersebut diwarnai perdebatan masing-masing fraksi terkait sikap mereka mengenai beberapa RUU yang diusulkan masuk Prolegnas 2021 atau tidak.

Namun akhirnya Raker tersebut mengesahkan 33 RUU masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, terdiri dari 20 RUU usulan dari DPR; 9 RUU usulan dari Pemerintah; 2 RUU usulan bersama dari DPR dan Pemerintah; dan 2 RUU usulan dari DPD. Pengesahan 33 RUU tersebut disertai dengan catatan kritis dari beberapa fraksi.

Hingga penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2020-2021, Prolegnas Proritas 2021 belum disetujui DPR dalam pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR.

Pembahasan Prolegnas 2021 pun dilanjutkan pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2020-2021, yaitu Baleg menggelar Raker bersama pemerintah dan DPD RI pada Selasa (9/3). Raker tersebut menghasilkan perubahan daftar Prolegnas 2021 yang sebelumnya disepakati dalam Raker pada Kamis (14/1) dan Prolegnas 2020-2024.

Jumlah RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 sebanyak 33 RUU, dan sebanyak 246 RUU masuk dalam Prolegnas 2020-2024.

Dalam Raker tersebut disepakati RUU tentang Pemilihan Umum ditarik dari daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021 dan digantikan dengan RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diusulkan oleh Pemerintah.

Keputusan Raker Baleg tersebut pun dibawa dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/3) untuk diambil keputusan Tingkat II, dan akhirnya fraksi-fraksi menyetujui 33 RUU masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Dalam Rapat Paripurna tersebut diwarnai dengan interupsi terkait beberapa RUU yang menjadi sorotan publik, salah satunya RUU Pemilu yang dikeluarkan dari Prolegnas 2021.

RUU Pemilu ditarik dari Prolegnas Prioritas 2021 setelah Komisi II DPR RI melalui Pimpinan Komisi II DPR mengirimkan surat resmi kepada Baleg DPR menarik RUU tersebut.

Ditariknya RUU Pemilu dari daftar Prolegnas merupakan salah satu poin menarik yang harus digarisbawahi dari dinamika yang terjadi dalam proses penyusunan dan pembahasan Prolegnas 2021.

Karena RUU Pemilu sebenarnya merupakan usul Komisi II DPR dan draf RUU sudah diserahkan kepada Baleg DPR sejak akhir tahun 2020, namun dalam perkembangannya, mayoritas fraksi di Komisi II mencabut dukungan.

Dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/3), Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat menyoroti ditariknya RUU Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021. F-PKS menilai Indonesia perlu perbaikan dalam sistem Pemilu dan Pilkada sehingga revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu perlu dilakukan.

F-Demokrat menilai RUU Pemilu perlu didiskusikan dan dibahas bersama karena semua pihak harus belajar dari pelaksanaan Pemilu 2019.

Baca juga: RUU PKS masuk prolegnas 2021 beri sinyal positif upaya lawan KBGO

Baca juga: Prolegnas 2021, Pemerintah diharapkan kesampingkan ego sektoral


Pemilu 2019 yang dilakukan bersamaan antara Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) telah menguras konsentrasi bangsa Indonesia, biaya, dan memecah konsentrasi masyarakat.

Poin menarik lainnya adalah dari 33 RUU yang ada di Prolegnas Priortas 2021, sebanyak 20 RUU telah ada dalam Prolegnas Prioritas 2020. Karena itu bisa dikatakan sebanyak 20 RUU yang tidak bisa diselesaikan di tahun 2020, dipindahkan ke tahun 2021 untuk diselesaikan.

Prolegnas Prioritas 2020 sebenarnya menghadapi persoalan karena pada awal penetapan-nya disepakati 50 RUU masuk di dalam Prolegnas 2020 lalu diperbaharui menjadi 37 RUU.

Dari 37 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2020, berdasarkan catatan yang ada, hanya ada 3 RUU yang berhasil disahkan menjadi UU yaitu UU tentang Mineral dan Batu bara (Minerba), UU tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), dan UU tentang Bea Materai.

Karena itu yang menjadi pertanyaan adalah apakah 33 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 merupakan target yang masuk akal untuk diselesaikan atau hanya mengejar prestise belaka?

Karena berkaca dari pengalaman di 2020, dari 37 RUU yang masuk Prolegnas 2020 hanya 5 RUU yang disetujui menjadi UU. Lalu saat ini dengan waktu yang sangat terbatas dan kondisi pandemik, apakah RUU yang disetujui menjadi UU bisa melampaui atau minimal menyamai capaian tahun lalu?

Target 33 RUU
​​​​​​​Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa lembaganya berkomitmen meningkatkan kinerja legislasi-nya sehingga paradigma yang harus dikembangkan dalam mengukur kinerja fungsi legislasi DPR RI, adalah pada kualitas produk legislasi.

Produk legislasi yang berkualitas, selain dapat memenuhi kebutuhan hukum nasional dan kepastian hukum, juga dapat meningkatkan kemajuan dan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ruang partisipasi publik pun dijamin akan tetap dibuka dalam tiap pembahasan RUU yang berlangsung di DPR sebagai upaya pengawasan masyarakat terhadap kinerja lembaga legislatif.

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menegaskan bahwa DPR akan tetap memperhatikan kualitas legislasi yang dihasilkan, sehingga RUU yang disahkan benar-benar bermanfaat dan memenuhi kebutuhan hukum seluruh masyarakat Indonesia dengan tetap melalukan kerjasama dengan pemerintah.

Dia mengatakan, selama pembahasan RUU, DPR akan selalu terbuka terhadap berbagai masukan aspirasi masyarakat yang disampaikan baik secara tertulis maupun langsung.

Peran aktif masyarakat pun sangat penting untuk mengawal pembahasan RUU untuk menghasilkan UU yang aspiratif dan sesuai dengan perkembangan dunia saat ini.

Baca juga: DPR setujui 33 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2021

Baca juga: Wakil ketua DPD dorong RUU BUMDes dan RUU Kepulauan disahkan tahun ini


Kritik pun disampaikan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus, waktu yang lama dalam membahas Prolegnas Prioritas 2021 merupakan hal fatal yang dilakukan DPR, karena dilakukan sejak akhir tahun 2020 hingga Maret 2021 baru disahkan.

Seharusnya Januari-Maret 2021 dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh DPR untuk membahas RUU namun justru terbuang sia-sia karena digunakan untuk membahas RUU mana saja yang masuk Prolegnas 2021.

Karena itu 33 RUU yang dimasukkan dalam Prolegnas 2021 merupakan target prestisius dari DPR tanpa mempertimbangkan waktu yang tersedia untuk membahas RUU. Karena DPR hanya memiliki waktu sekitar tujuh bulan lagi atau tiga kali masa sidang untuk membahas 33 RUU.

Kondisi pandemik COVID-19 yang masih melanda Indonesia pun menjadi kekhawatiran Lucius terhadap kinerja DPR dalam menyelesaikan 33 RUU tersebut karena pembahasannya akan terkendala dan mengandalkan rapat virtual.

Karena itu tidak mengherankan apabila diperkirakan hanya 5 RUU yang bisa diselesaikan tahun ini, berkaca pada tahun 2020 hanya tiga RUU yang bisa diselesaikan dari 37 RUU yang masuk Prolegnas 2020.

Lucius pun menyarankan agar DPR dan pemerintah membuat skala prioritas dalam pembahasan RUU karena banyak RUU yang masuk Prolegnas 2021 sudah mulai dibahas sejak tahun lalu sehingga mendahulukan RUU yang pembahasannya sudah separuh langkah tentu merupakan sebuah langkah yang bijak dan realistis.

Selain itu RUU yang berpotensi menimbulkan kontroversi di masyarakat sebaiknya ditunda pembahasannya seperti RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), RUU Larangan Minuman Beralkohol, dan RUU Perlindungan Tokoh Agama.

Lebih baik DPR mendahulukan RUU yang dibutuhkan masyarakat seperti RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS), RUU Penanggulangan Bencana, dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.

Sikap pro dan kontra masyarakat pernah terjadi ketika DPR periode 2014-2019 membahas RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Pemasyarakatan, bahkan memicu aksi massa dalam jumlah besar untuk menyatakan penolakan pengesahan kedua RUU tersebut menjadi UU. Pada akhirnya kedua RUU tersebut batal disetujui dalam pengambilan keputusan Tingkat II di Rapat Paripurna namun hanya disetujui di Tingkat I.

Selain itu saat pembahasan RUU Cipta Kerja juga menimbulkan polemik di masyarakat bahkan memicu aksi massa kalangan buruh untuk menyuarakan penolakan-nya, namun akhirnya RUU tetap dibahas dan berhasil disetujui DPR.

Dalam era demokrasi dengan prinsip keterbukaan publik maka tentu saja sikap terbuka menerima masukan dan kritik harus melandasi dalam tiap pembahasan RUU di DPR.

Karena dalam sistem demokrasi, perbedaan pendapat merupakan keniscayaan yang pasti ditemui dalam merancang kebijakan khususnya pembahasan RUU. Namun yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat menyalurkan pendapat dan masukkannya terkait sebuah RUU serta dapat diakomodasi pendapatnya tersebut.

Dalam kondisi pandemik COVID-19, tentu saja pembahasan RUU pasti akan dibatasi kehadiran fisik di lokasi rapat sehingga harus memanfaatkan teknologi informasi yaitu hadir dalam rapat secara virtual.

Selama ini, rapat-rapat yang berlangsung di DPR sudah memfasilitasi masyarakat menyaksikan rapat yang berlangsung di DPR secara virtual dengan memantaunya di media sosial maupun siaran streaming.

Konsep keterbukaan tersebut yang seharusnya dipertahankan sehingga tiap pembahasan RUU dapat disaksikan masyarakat meskipun mereka tidak bisa hadir secara langsung di lokasi rapat sehingga mekanisme "check and balances" dapat berlangsung baik.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021