Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian menargetkan peremajaan sawit rakyat (PSR) mengalami pertumbuhan seluas 180 ribu hektar per tahun selama periode 2020 - 2022.

Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto di Jakarta, Rabu menyebutkan total luas lahan sawit 16,38 juta hektar, dari jumlah tersebut, luas perkebunan sawit rakyat 6,72 juta hektar.

"Potensi peremajaan sawit rakyat 2,78 juta hektar dengan sebaran dominan di Sumatera dan Kalimantan," ujarnya dalam Diskusi Webinar Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN) yang bertemakan "Peranan Kelapa Sawit Dalam Pengentasan Kemiskinan Dan Mewujudkan Gratieks”.

Untuk mengejar seluruh target tersebut Ditjen Perkebunan mendorong pengembangan logistik benih, meningkatkan produksi dan produkivitas, meningkatkan nilai tambah, daya saing dan ekspor.

"Kami juga mendorong modernisasi perkebunan , pembiayaan melalui KUR (kredit usaha rakyat), peningkatan kapasitas SDM (sumber daya manusia), optimasi jejaring stakeholder," katanya.

Heru menambahkan Ditjen Perkebunan juga menargetkan selama 2020-2024 produksi perkebunan naik 7 persen per tahun, penyerapan tenaga kerja 5 persen, peningkatan PDB perkebunan 5 persen per tahun serta mengurangi losses 3 persen.

Secara keseluruhan, lanjutnya, Ditjen Perkebunan menargetkan nilai ekspor komoditas utama andalan dan pengembangan perkebunan periode 2020-2024 sebesar 74,31 miliar dolar AS atau setara Rp1.040,33 triliun.

Pengamat Kehutanan, Dr. Bedjo Santoso mengungkapkan industri kelapa sawit mampu menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja, terdiri 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.

Devisa kelapa sawit tahun 2018 sebesar Rp240 triliun, lanjutnya, sehingga kelapa sawit mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

"Saya tidak sepakat dengan kebijakan moratorium sawit (Inpres No.8 Tahun 2018). Aturan ini tidak jelas arahnya dan menggerogoti sawit sebagai tulang punggung ekonomi nasional," ujarnya.

Ia mengatakan Pengembangan kelapa sawit, terutama sawit rakyat dapat ditempuh melalui pembangunan ekosistem hutan tanaman kelapa sawit yang ramah lingkungan berbasis kearifan lokal.

Sementara itu Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Dr. Tungkot Sipayung menyatakan perkebunan kelapa sawit mampu membangun daerah miskin dan terbelakang untuk menjadi sentra perekonomian baru.

Sentra ekonomi baru ini tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat.

“Kelapa sawit membantu dunia dalam Sustainable Development Goals (SDG) di bidang mengatasi persoalan kemiskinan,” ujarnya.

Dikatakannya, setelah era bisnis HPH (Hak Pengusahaan Hutan ) berakhir, muncul kota mati atau kota hantu karena ekonomi tidak bergerak. Imbasnya, masyarakat setempat menjadi miskin.

"Di sinilah, peranan kebun sawit rakyat yang merestorasi lahan eks HPH menjadi daerah produktif dan lestari secara lingkungan. Selain itu, perekonomian mulai bergerak dengan hadirnya perkebunan sawit," ujar Tungkot.

Dari aspek ekonomi, lanjutnyak, terjadi nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan ekonomi di pedesaan dan perkotaan. Nilai transaksi masyarakat kebun sawit dengan masyarakat perkotaan sebesar Rp202,1 triliun/tahun dan masyarakat kebun sawit dengan ekonomi pedesaaan sebesar Rp59,8 triliun/tahun.

Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021