Ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meyakini salah satu cara untuk mencegah perempuan rentan terjerumus aksi radikalisme dan terorisme adalah memperkuat ketahanan keluarga.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Ratna Susianawati mengatakan adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme akhir-akhir ini menunjukan perempuan lebih rentan, yang dapat disebabkan faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan.

"Keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu. Di sinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya,” ungkap Ratna dalam keterangan persnya yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Ratna menilai ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga. Terlebih dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, serta bervariasinya modus-modus kejahatan baru.

Baca juga: KBPP Polri serukan gotong royong hadapi radikalisme terorisme

Oleh karenanya, orangtua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami. Kemudian menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan.

Ratna mengatakan dalam menangani persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia, pemerintah tentunya tidak bisa bergerak sendiri.

Menurut dia, pentingnya sinergi semua pihak baik masyarakat sipil untuk bergerak secara masif dan berkelanjutan, khususnya dengan melakukan sistem deteksi dini, karena persoalan terorisme dan radikalisme ini merupakan tantangan besar kita dalam menghasilkan sumber daya manusia berkualitas.

"Mari kita bersinergi lindungi perempuan dari bahaya terorisme dan radikalisme, demi mewujudkan Generasi Emas Indonesia pada 2045. Jika perempuan berdaya, anak terlindungi, saya yakin Indonesia pun akan maju,” ujar Ratna.

Baca juga: Polri tangkap 3 perempuan terduga teroris di Makassar

Senada dengan Ratna dalam kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Akhmad Nurwakhid menekankan pentingnya memperkuat 'civil society' dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, khususnya tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam memerangi adanya pemahaman dan ideologi menyimpang yang mengarah pada aksi terorisme dan radikalisme.

Menurut Akhmad, adanya anggapan perempuan memiliki perasaan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap taat pada suami, cenderung membuat mereka lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya.

Menindaklanjuti persoalan ini BNPT telah berupaya menanggulanginya dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang sudah dibentuk di 32 Provinsi untuk melakukan sosialisasi kepada generasi muda, termasuk perempuan, dan anak.

“Aksi radikalisme dan terorisme bukanlah bentuk monopoli satu agama, melainkan ada di setiap agama, kelompok, bahkan berpotensi ada di setiap individu manusia. Segala bentuk terorisme yang mengatasnamakan agama, sejatinya adalah manipulator agama dan tidak terkait dengan agama apapun. Ini menjadi musuh kita bersama, kita harus bersatu untuk menanggulanginya,” tutup Akhmad.

Baca juga: Perempuan di antara jerat terorisme dan deradikalisasi

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2021