Permasalahan yang dihadapi UMKM bukan hanya sebatas pendanaan, tetapi beragam meliputi masalah SDM-nya, akses pemasarannya, serta jejaring dan teknologinya
Jakarta (ANTARA) - Rencana untuk mendorong segera terbentuknya BUMN ultramikro yang terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Pegadaian (Persero), dan PT Pemodalan Nasional Madani (Persero) dikhawatirkan tak mampu menuntaskan persoalan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati dalam diskusi virtual, yang diselenggarakan Forum Jurnalis Ekonomi dan Bisnis (FORJES), Kamis, mengatakan dilihat berdasarkan latar belakang rencana pembentukan holding ultramikro adalah karena keinginan Pemerintah melalui Kementerian BUMN agar UMKM bisa naik kelas.

“Permasalahan yang dihadapi UMKM bukan hanya sebatas pendanaan, tetapi beragam meliputi masalah SDM-nya, akses pemasarannya, serta jejaring dan teknologinya," kata dia.

Oleh karena itu, ia menilai kebijakan holding BUMM ini perlu dikaji lebih dalam termasuk dampaknya bagi kepentingan negara secara lebih luas.

Menurut Anis, pembentukan holding BUMN ultramikro berpotensi membuat PT Pegadaian dan PT PNM menjadi anak usaha BUMN dan PT BRI cenderung akan menjadi perusahaan holdingnya.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kemungkinan terbentuknya holding tersebut cukup besar, lantaran rencana ini ada di tangan pemerintah.

Menurut Piter, holding BUMN ultramikro akan memiliki dampak bagi perusahaan BUMN itu sendiri.

“BRI bisa menggunakan likuiditasnya yang besar maka PNM bisa menyakinkan bahwa kreditnya lebih mudah dan lebih banyak. Tetapi yang menarik adalah ini bukan persoalan penambahan perusahaan saja, tetapi yang diharapkan adalah keberadaan Pegadaian dan PNM sekarang sudah diterima oleh masyarakat," ucap dia.

Sementara itu, Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyarankan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI membeli bank-bank komersial untuk memperbesar skala perusahaan ketimbang melakukan holding dengan PT Pegadaian (Persero) dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM.

Holding ultramikro dianggap kecil kemungkinan untuk bisa memberi nilai tambah bagi perusahaan.

“BRI itu untuk menjadi ujung tombak ‘financial inclusion’ lebih baik mengambil alih bank-bank komersial, seperti Bank Muamalat, Bank Bukopin, dan bank-bank lainnya supaya konsolidasi perbankan terjadi,” kata Faisal.

Menurut Faisal, Kementerian BUMN harus memiliki kajian yang jelas ihwal rencana holding ultramikro. Sebab, rencana rencana tersebut justru disinyalir bakal membawa dampak luas bagi masyarakat, khususnya Pegadaian.

Selain itu, holding ultramikro memiliki risiko karena dilakukan terhadap tiga entitas yang memiliki karakteristik sangat berbeda. BRI, misalnya, memiliki tugas melayani segmen UMKM yang sudah terbuka terhadap akses bank dan segmen korporasi.

Sementara itu, PNM melayani perusahaan yang relatif baru dan belum memiliki akses terhadap perbankan sehingga memerlukan jasa modal ventura.

Sedangkan Pegadaian sebagai perusahaan pelat merah memiliki tugas membantu masyarakat yang mengalami kesulitan likuiditas untuk memberikan solusi jangka pendek.

Keinginan Kementerian BUMN untuk melakukan holding justru bertentangan dengan ide untuk memajukan usaha kecil dan menengah secara total. “Karena seolah-olah persoalan UMKM hanya keuangan, khususnya akses terhadap kredit,” ujar Faisal.

Faisal mempertanyakan efektivitas holding ultramikro di tengah aksi perbankan mengurangi kantor-kantor cabangnya.

Aksi korporasi ini dikhawatirkan membuat Pegadaian akan sulit menyentuh masyarakat kecil sebagai nasabahnya setelah holding terbentuk.

Baca juga: BI menaruh harapan besar atas rencana "holding" BUMN ultra mikro
Baca juga: Komisi VI DPR dukung pembentukan "holding" BUMN ultra mikro
Baca juga: Holding ultra mikro dinilai mampu dorong ekosistem pembiayaan UMKM

 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021