Jakarta (ANTARA) - Wakil ketua DPR RI Azis Syamsuddin menyatakan penyampaian konten positif di sosial media dapat memberikan literasi untuk masyarakat.

"Penanganan penyebaran konten radikalisme dan terorisme di media sosial (medsos) harus dibarengi dengan penyampaian konten positif untuk memberi literasi kepada masyarakat," kata Azis dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat.

Penegasan itu disampaikan Azis yang secara intens memantau perkembangan situasi dan kondisi keamanan, pascaperistiwa di Makassar dan Mabes Polri.

"Data yang saya terima dari Kominfo, hingga 3 April 2021, ada 20.453 konten yang sudah diblokir. Konten itu yang mengandung unsur radikalisme, terorisme yang sebarannya beragam di situs internet, termasuk beragam platform media sosial," ungkap Azis.

Sejalan dengan pemblokiran ini, Kominfo diharapkan mampu mengimbangi pertumbuhan konten berbahaya dengan konten yang mengandung unsur literasi positif untuk masyarakat.

"Gandeng media baik di pusat dan daerah, untuk menyampaikan pesan-pesan positif. Tentu saja kemasannya harus kreatif dan bervariatif. Buat semenarik mungkin, jangan monoton dan membosankan," tegas Politisi Partai Golkar itu.

Baca juga: Puan tekankan urgensi kuatkan ketahanan keluarga cegah radikalisme
Baca juga: Ketua DPD RI dorong literasi digital cegah konten medsos tak mendidik
Baca juga: Aktivis: Literasi keberagamaan merupakan langkah melawan radikalisme


Ditambahkan Azis, penyebaran ideologi radikal yang kini memanfaatkan ruang media sosial, harus pula ditangkal dengan pendekatan yang lebih lunak lewat dialog.

Kata dia, jika selama ini pemerintah hanya menutup akun yang terindikasi menyebarkan radikalisme, ke depan Kominfo juga harus mampu menghadirkan konten monolog.

"Caranya sederhana, libatkan tokoh agama, tokoh masyarakat sampai komedian dalam setiap konten. 'Stand up' komedi juga termasuk ke dalam monolog yang bisa menghadirkan pesan menghibur. Asupan ini sederhana tapi mengena," jelas Azis.

Terkait dengan sikap dan langkah Kepolisian dalam melihat konteks radikalisme, Azis kembali meminta polisi lebih tegas. Proses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos dan terindikasi menyebarkan paham radikal harus dilakukan.

Terutama paham yang menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam kedaulatan negara. Azis menegaskan tidak ada toleransi untuk mereka. Karena ini sejalan dengan aturan yang sudah dibuat.

"Polisi bisa menjerat pemilik akun medsos radikal tersebut dengan Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," jelas Azis.

Pemblokiran merupakan langkah preventif tetapi juga harusnya ditindaklanjuti dengan langkah pemidanaan, karena hukum positif di Indonesia sudah mengaturnya.

"Polisi punya mesin pendeteksi. Tidak harus menunggu pengaduan atau laporan masyarakat untuk memproses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos," timpal Azis.

Polisi siber, kata Azis, memiliki kemampuan dan kewenangan untuk bertindak tanpa harus menunggu pengaduan masyarakat.

"Kekuatan Polisi siber sangat besar. Mencegah meluasnya penyebaran paham radikal atau radikal terorisme yang sangat mengancam kedaulatan negara, kehormatan dan wibawa negara, menjadi garis besar dari tugas Polisi siber," tegasnya.

Sebelumnya, mantan narapidana teroris Haris Amir Falah, menyebut ada perubahan pola rekrutmen orang yang disiapkan melakukan aksi teror. Rekrutmen calon teroris tidak lagi melalui tatap muka, melainkan via media sosial.

Melalui media sosial, calon pengantin bisa melakukan dialog tanpa bertemu tatap muka dengan pembinanya. Haris menuturkan, sejumlah platform media sosial yang kerap dijadikan medium indoktrinasi serta rekrutmen teroris adalah Facebook dan Telegram.

Pewarta: Fauzi
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021