Jakarta (ANTARA) - Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan daya saing industri makanan dan minumannya (mamin) beserta kontribusinya pada penerimaan ekspor, melalui pengendalian kebijakan non-tarif.

“Kebijakan non-tarif adalah kebijakan selain tarif yang diterapkan pada perdagangan, sehingga berdampak kepada jumlah maupun biaya perdagangan. Berhubung pasar pangan internasional adalah salah satu sumber pangan penting bagi Indonesia, kebijakan non-tarif menjadi salah satu kontributor dari harga pangan yang tinggi,” kata Kepala Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta lewat keterangannya di Jakarta, Kamis.

Dengan kontribusi sebesar 6,25 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada 2018 dan 39,5 persen dari PDB manufaktur nonmigas pada kuartal II/2020 menurut data Kementerian Perindustrian, masih bergantung kepada impor bahan baku, termasuk karena produksi dalam negeri sering kurang secara mutu dan jumlah.

Pertumbuhan dan penerapan kebijakan non-tarif di Indonesia dan adanya pembatasan akses perusahaan ke pasar global dinilai dapat mengurangi produktivitas dan daya saing industri mamin karena meningkatkan biaya input atau karena pemberlakuan tindakan pada ekspor.

Baca juga: CIPS ingin kebijakan nontarif terkait biaya tetap impor dikaji ulang

Pada 2020, terdapat 466 kebijakan non-tarif atas komoditas pangan dan pertanian dan ini jelas mempengaruhi industri mamin, imbuhnya.

Kebijakan non-tarif pada bahan pangan mentah dan pertanian untuk keperluan industri, dimaksudkan untuk memprioritaskan produksi dalam negeri, dan meningkatkan nilai tambahnya, namun kebijakan proteksionis ini justru tidak efektif dan menghambat pertumbuhan industri.

Industri mamin merupakan salah satu industri yang tetap tumbuh positif selama pandemi COVID-19, dengan Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan pertumbuhan kumulatifnya mencapai 1,66 persen di tahun 2020.

Data Kementerian Perindustrian pada 2020 memperlihatkan industri ini mampu menyerap 5 juta pekerja atau 27,6 persen dari angkatan kerja dibidang manufaktur di Indonesia.

Baca juga: PPKM mikro, industri mamin sebut pemerintah akan beri subsidi ongkir

Untuk memperkuat posisi industri mamin Indonesia dalam Global Value Chain, CIPS merekomendasikan penggunaan sistem persetujuan otomatis untuk perizinan impor (automatic import licensing system).

Penggunaan sistem ini akan menyederhanakan proses impor yang saat ini berbelit-belit dan tidak transparan serta juga menciptakan fleksibilitas yang dibutuhkan importir untuk merespons sinyal pasar internasional demi keuntungan konsumen Indonesia. Selain itu, dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan peraturan teknis terkait kebijakan impor pangan.

Rekomendasi selanjutnya, ungkap Felippa, adalah melakukan Regulatory Impact Assessment (RIA) atau asesmen pada dampak kebijakan non-tarif.

Penelitian CIPS menemukan bahwa menghitung biaya yang ditimbulkan oleh kebijakan non-tarif sulit dilakukan mengingat kompleksitasnya dan sering tersembunyi di balik detil.

Kementerian Perdagangan, Pertanian, dan Perindustrian diminta melakukan tinjauan komprehensif terhadap kebijakan non-tarif yang ada melalui kerangka kerja RIA, dengan melibatkan sektor swasta sebagai pihak yang memiliki informasi dan yang paling terdampak.

“Hasil RIA harus digunakan untuk merampingkan kebijakan non-tarif yang ada. Jika kebijakan yang ada ternyata menimbulkan biaya yang lebih besar dan sedikit manfaat, maka kebijakan tersebut harus dihapus. RIA juga harus dilakukan untuk implementasi kebijakan serupa yang ada dan yang akan datang,” ujar Felippa.

Langkah tersebut, menurutnya, akan dapat memastikan akuntabilitas pemerintah atas rancangan kebijakannya, dan mendukung proses regulasi yang lebih baik.

“Melalui RIA, kebijakan non-tarif masa depan dapat dirancang dengan efek distorsi perdagangan paling kecil pada kuantitas atau harga,” imbuhnya.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021