Kalau fokusnya pada kepentingan kreditur, proses perdata harusnya didahulukan.
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah kreditur produk High Yield Promissory Notes (HYPN) PT Indosterling Optima Investa (IOI) menemui penyidik di Mabes Polri guna mempertanyakan penggunaan pasal pidana terhadap keputusan inkrah penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

"Sebagai kreditur produk HYPN dari IOI telah sepakat dengan putusan PKPU dan menerima pembayaran. Kami justru mempertanyakan mengapa polisi tetap memaksakan untuk membawa kasus ini ke persidangan," kata kreditur HYPN IOI asal Surabaya Viana Koeswanto melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta Selasa.

Viana menemui langsung penyidik Subdit Perindustrian dan Perdagangan Mabes Polri yang dipimpin oleh AKBP Agung Yudha Adhi Nugraha.

Berdasarkan skema putusan nomor 174/Pdl Sus-PKPU 2020/PN Niaga Jakarta Pusat atas proses restrukturisasi HYPN senilai Rp1,9 triliun terdapat tujuh kelompok kreditur yang pembayarannya dilakukan bertahap sampai 2027

Awalnya, IOI akan mulai melakukan pembayaran pada bulan Maret 2021. Namun, proses itu dipercepat pada bulan Desember 2020 dan pembayarannya secara bertahap. Hingga pekan ini, IOI telah melakukan enam kali pembayaran terhadap 1.102 kreditur.

"Sebagai kreditur kami justru akan dirugikan ketika pembayaran kepada kami macet. Kami tidak ingin nasib kami serupa nasabah kasus-kasus lain akhirnya tidak menerima hak kami," katanya.

Baca juga: Nasabah harapkan kehadiran OJK dalam PKPU Kresna Life

Sehari sebelumnya, Senin (3/5), IOI telah menunaikan pembayaran tahap keenam dari restrukturisasi HYPN senilai Rp1,9 triliun.

Communication Director Indosterling Group Deasy Sutedja di tempat terpisah berkomitmen untuk menjalankan kewajiban dari putusan PKPU.

Percepatan pembayaran yang dilakukan IOI pada masa pandemi menjadi bukti nyata komitmen perusahaan tersebut memenuhi kewajiban kepada kreditur sesuai dengan hal yang telah disepakati.

"Kami selalu berkomitmen sejak awal bahwa IOI akan berusaha menjadikan kepentingan kreditur sebagai prioritas utama," ujar Deasy.

Sebelumnya, kuasa hukum PT IOI Hardodi mengatakanbahwa dalam sistem hukum perdata pihak kreditur memiliki hak untuk mengajukan pembatalan perdamaian apabila debitur lalai melaksanakan isi perdamaian.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 291 juncto Pasal 170 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

"Boleh saja menempuh jalur pidana kalau IOI dianggap lalai menjalankan kewajibannya sesuai putusan PKPU," katanya.

Namun, faktanya sejauh ini lancar-lancar saja. Bahkan, sebagai iktikad baik, kliennya melakukan percepatan pembayaran.

Baca juga: Nasabah sebut Kresna Life abaikan OJK terkait putusan PKPU

Perlu diketahui bahwa tidak ada jaminan uang kreditur bisa kembali jika jalur pidana terus berjalan.

Terakhir, Hardodi juga mengaku heran kepada penyidik yang dinilainya terkesan berupaya melanjutkan kasus tersebut meskipun alat bukti masih kurang. Bahkan, di beberapa polda justru telah mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dengan alasan keadilan restoratif.

"Kalau fokusnya pada kepentingan kreditur, proses perdata harusnya didahulukan," kata Hardodi.

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021