Lebak (ANTARA) - Jelegaar....!!! Demikian dentuman suara meriam yang dinyalakan di Masjid Agung Al A'raf Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten tepatnya pukul 18.05 WIB.

Dentuman suara meriam itu menjadikan momen bagi masyarakat Kabupaten Lebak, Banten, sebagai penanda tibanya berbuka puasa.

Ledakan meriam itu sangat keras hingga terdengar sejauh 10 kilometer di Kecamatan Rangkasbitung, Kalanganyar dan Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten.

Masyarakat yang berkumpul sambil ngabuburit di sekitar Alun-alun Rangkasbitung menyambut gembira setelah mendengar dentuman meriam itu dan mereka berlarian ke rumah untuk berbuka puasa.

Begitu juga umat Muslim di masjid-masjid dan musola mulai melaksanakan kumandang adzan maghrib.

Mereka masyarakat di daerah itu setiap Ramadhan merindukan tradisi dentuman suara meriam yang berlangsung turun temurun, bahkan di Provinsi Banten hanya ada di Kota Rangkasbitung.

"Kami merasa senang dan bahagia mendengar dentuman meriam sebagai tandanya berbuka puasa," kata H Yahya (65) seorang pengurus DKM Masjid Al A'raf Rangkasbitung.

Tradisi dentuman suara meriam bagi masyarakat Kabupaten Lebak yang dinyalakan setiap bulan Ramadhan itu diperkirakan dimulai tahun 1928.

Sebab, kata dia, sebelumnya menggunakan meriam locok produksi VOC yang terbuat dari perunggu berwarna keemasan dengan panjang satu meter dan diameter cukup besar.

Meriam locok produksi VOC dinamakan "Si Jagur" dengan menggunakan bahan peledak dari karbit dan air.

Suara dentuman "Si Jagur" lebih keras hingga terdengar kejauhan sekitar 40 kilometer, namun meriam locok itu dihentikan tahun 1957 setelah menimbulkan kecelakaan.

Penyulut meriam locok bernama Madsai bagian tangan kanan terputus saat akan dilakukan penyulutan, namun terlebih dahulu mengeluarkan suara ledakan.

Kecelakaan meriam Si Jagur itu akhirnya diganti dengan meriam yang terbuat dari pipa juga bahan peledak karbit dan air.

"Sekarang meriam locok alias Si Jagur itu sudah dibawa ke museum di Banten," katanya.

Baca juga: Tanda berbuka, penyulut meriam di Rangkasbitung ikhlas digaji kecil

Ketakutan

Opik, seorang petugas penyulut meriam Masjid Agung Al Araf, mengaku sebelumnya merasa ketakutan karena dikhawatirkan terjadi kecelakaan karena tidak memiliki perlindungan.

Proses penyulutan meriam itu mulai mengisi bahan peledak sampai menyulut api ke lubang meriam dilakukan secara manual.

Disamping itu juga peledakan meriam tanpa dilengkapi alat peredam dan berpotensi mengalami gangguan pendengaran.

Sebab, kata dia, dentuman suara keras bisa menimbulkan kerusakan bagian gendang telinga dan dapat mengalami gangguan pendengaran telinga atau torek.

Dengan demikian, kata dia, dirinya selama 26 tahun sebagai petugas penyulut meriam tidak ada penggantinya, karena mereka khawatir menjadi korban kecelakaan.

Selama ini, dirinya sudah menghilang rasa ketakutan dan ribuan umat Muslim menunggu kerinduan suara meriam itu sebagai pertanda informasi berbuka puasa.

"Kami menyulut meriam itu cukup hati-hati mulai mengisi bahan peledak dari karbit hingga menyulut api ke lubang meriam agar tidak mengalami kecelakaan," kata Opik sambil mengaku menerima honor Rp100 ribu.

Baca juga: Kawasan wisata Rancalinta Rangkasbitung lokasi favorit "ngabuburit"

Era Belanda

Akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Latansa Mashiro Rangkasbitung Mohammad Husen mengatakan dentuman suara meriam sebagai tibanya berbuka puasa pada Bulan Ramadhan berlangsung sejak zaman Belanda.

Saat itu, kata dia, umat Muslim Kabupaten Lebak tidak memiliki media elektronika,seperti radio dan televisi.

Karena itu, satu-satunya dentuman meriam yang bisa dijadikan sebagai pertanda tibanya waktu umat Islam untuk berbuka puasa Ramadhan.

Bahkan, dentuman suara meriam pada saat itu lebih keras hingga terdengar mencapai kejauhan 40 kilometer.

"Kami memperkirakan tradisi dentuman suara meriam di Rangkasbitung dari tahun 1928 hingga kini masih dilestarikan dan dipertahankan," katanya.

Ia mengatakan, tradisi dentuman suara meriam untuk mengingatkan umat Muslim dapat melaksanakan ibadah puasa Bulan Ramadhan.

Di mana saat itu, ujar dia, masyarakat masih minim tentang pendidikan agama Islam di era pemerintahan Kolonial Belanda.

Selain itu juga tradisi dentuman suara meriam sebagai simbol untuk mempersatukan umat Muslim untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah tersebut.

Di wilayah Rangkasbitung saat itu, banyak perusahaan Belanda yang mengelola perusahaan pabrik minyak yang terbesar se-Asia, bahkan terdapat perumahan karyawan pabrik minyak di Kampung Pasir Kongsen.

Begitu juga gedung-gedung Belanda lainnya, seperti Gedung Pemkab Lebak, Gedung Polsek Rangkasbitung, Gedung Rumah Tahanan dan Gedung Kodim 0603 merupakan bangunan peninggalan Belanda.

Pergerakan umat Muslim di Kabupaten Lebak melakukan perlawanan untuk berjuang terhadap kolonial Belanda hingga banyak masyarakat dan ulama gugur di medan perang.

"Karena itu, masyarakat Lebak hingga kini tetap merindukan dentuman suara meriam saat Bulan Ramadhan untuk pertanda tibanya berbuka puasa," kata mantan Anggota DPRD Lebak.

Baca juga: Museum Multatuli Rangkasbitung targetkan 30.000 wisatawan

Lestarikan

Pemerintah Kabupaten Lebak hingga kini tetap melestarikan meriam Masjid Agung Al A'raf Rangkasbitung untuk penanda tibanya berbuka puasa, meski di tengah banyaknya media informasi.

Pelestarian tradisi meriam bagian perjalanan sejarah dan budaya masyarakat Kabupaten Lebak.

Karena itu, pemerintah daerah memerintahkan pada pengelola Masjid Agung Al A'raf Rangkasbitung agar tetap meriam itu diaktifkan setiap tahun pada Bulan Ramadhan.

Bahkan, dentuman suara meriam yang berlangsung selama satu hingga dua detik itu menjadikan obyek wisata.

Banyak warga Rangkasbitung di rantau kembali ke kampung karena  rindu suara meriam tersebut.

Pemerintah daerah agaknya memahami kondisi ini sehingga melestarikan ledakan meriam sebagai penanda tibanya berbuka puasa bagi umat Muslim itu.*

Baca juga: Pasar Rangkasbitung perketat protokol kesehatan kendalikan COVID-19

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021