Saya merasakan ketidakadilan.
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menilai sanksi oleh Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) terhadap dua penyidik yang menangani kasus bantuan sosial (bansos) sebagai bentuk ketidakadilan.

"Saya merasakan ketidakadilan. Kalau penyidik, itu 'kan dalam rangka menggali keterangan terhadap saksi yang diduga tidak kooperatif, kemudian melakukan sedikit improvisasi dan itu hal yang biasa," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.

Sebelumnya, Dewas KPK memutus dua penyidik Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga terbukti melanggar kode etik karena melakukan perundungan atau pelecehan kepada Agustri Yogasmara alias Yogas yang merupakan saksi dalam kasus dugaan penerimaan suap kepada mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dari perusahaan penyedia bansos COVID-19.

Untuk Praswad, disanksi sedang berupa pemotongan gaji pokok sebesar 10 persen selama 6 bulan dan Nor Prayoga disanksi ringan berupa teguran tertulis 1 dengan masa berlaku hukuman selama 3 bulan.

"Itu masih batasan yang ditoleransi untuk melakukan improvisasi seperti itu dan mestinya itu justru malah mendapatkan apresiasi karena dia sangat betul-betul memberantas korupsi dengan maksimal. Kalau dia orang yang tidak maksimal, ya, sederhana saja normatif pertanyaannya, jawabannya apa, tidak dikejar, kemudian tidak ketemu," lanjut Boyamin.

Namun, kata dia, lain ceritanya jika terjadi kekerasan fisik terhadap saksi, hal tersebut tidak bisa ditoleransi.

"Kecuali kalau mukul itu baru atau dalam bentuk melecehkan secara pribadi itu baru. Jadi, kalau hanya ungkapan-ungkapan, letupan-letupan karena tidak kooperatifnya saksi, kemudian timbul suatu ungkapan-ungkapan, celetukan-celutukan sepertinya itu masih dalam toleransi yang masih bisa dimaklumi," ujarnya.

Baca juga: Akademisi sebut sejak awal Dewas KPK dicurigai alat pembenar koruptor

Boyamin lantas membandingkan dengan putusan pelanggaran etik terhadap Ketua KPK Firli Bahuri karena bergaya hidup mewah dengan menggunakan helikopter.

Dewas menyatakan Firli terbukti melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis 2.

Karena ini sudah divonis, bahkan sampai dipotong gaji 10 persen, menurut dia, ini otomatis kalau dibandingkan dengan putusan Firli sangat tidak adil juga.

"Pak Firli jelas pada posisi apa pun bergaya hidup mewah itu sudah meruntuhkan melebihi dari sekadar penyidik yg meletupkan improvisasinya. Itu 'kan bergaya hidup mewah 'kan bisa meruntuhkan moral pegawai KPK, bisa menjadikan contoh buruk bagi pegawai KPK dan juga yang terutama meruntuhkan kepercayaan masyarakat," tuturnya.

Sebelumnya, Majelis Etik yang terdiri atas Harjono, Syamsuddin Haris, dan Albertina Ho lalu menjatuhkan hukuman sedang dan ringan kepada keduanya.

Perundungan itu disebut dilakukan saat penggeledahan di rumah Yogas pada tanggal 12 Januari 2021 dan pemeriksaan Yogas di Gedung KPK pada tanggal 13 Januari 2021.

"Para pemeriksa duduk dengan mengangkat kaki, menunjuk-nunjuk saksi Agustri Yogasmara, menunjuk pelipis kepalanya sendiri sambil mengucapkan kata-kata 'mikirrrrr', memegang mobil-mobilan dan menunjukkan kepada saksi Agustri Yogasmara sambil mengucapkan kata-kata 'sini mulutmu gue masukin ini...' pada tanggal 12 Januari 2021 dan seolah-olah akan melemparkan sesuatu kepada saksi Agustri Yogasmara pada saat pemeriksaan berlangsung," ungkap Haris.

Selain itu, pemeriksaan pada tanggal 13 Januari 2021, Yogas juga dikonfrontasi dengan saksi Harry van Sidabukke dengan diminta untuk meletakkan tangan di atas Alquran.

"Hal itu juga merupakan sikap yang tidak patut dan tidak pantas dilakukan oleh seorang penyidik dalam melaksanakan tugas," ucap Haris.

Baca juga: Dewas KPK putuskan 2 penyidik langgar kode etik dalam kasus bansos

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021