Solo (ANTARA) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Lestari Moerdijat menyatakan realisasi Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) harus menjadi perjuangan bersama untuk mewujudkan negara yang adil, makmur, dan aman bagi masyarakat.

Lestari, saat membuka diskusi yang dilakukan secara daring bertema RUU Penghapusan Kekerasan Seksual "Mewujudkan Kebijakan Berbasis Bukti Dalam Proses Legislasi" yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu, mengatakan kehadiran UU PKS merupakan salah satu cara negara ini memberikan tempat yang layak terhadap nilai-nilai kemanusiaan bagi anak bangsa.

"Mewujudkan UU PKS juga merupakan bagian dari perjuangan bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang paripurna," katanya.

Lestari berharap para legislator di gedung parlemen menggunakan semua saluran politik yang ada dalam mengatasi berbagai hambatan dan menghilangkan sekat-sekat golongan.

"Tujuannya untuk membangun 'political will' (kebijakan politik) yang kuat mewujudkan UU PKS," katanya.

Baca juga: RUU PKS dinilai mendesak untuk segera disahkan jadi UU

Pada acara yang sama, Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI Willy Aditya mengatakan yang terjadi dalam pembahasan RUU PKS saat ini adalah benturan ideologi dan cara pandang dari sejumlah pihak.

Pihak-pihak yang berbeda pandangan tersebut, menurut dia sama-sama beralasan ingin memuliakan perempuan dan anak.

"Namun masih ada pihak-pihak yang mempersoalkan sejumlah terminologi dan aspek sosial budaya dalam pasal-pasal RUU PKS tersebut," katanya.

Oleh karena itu, ia berharap sejumlah perspektif yang berbeda dalam pembahasan RUU PKS dapat diatasi lewat dialog yang intensif dan fakta-fakta di lapangan terkait maraknya kekerasan seksual secara digital.

"Misalnya yang meningkat 300 persen diharapkan membuka mata sejumlah pihak yang menentang kehadiran UU PKS ini," katanya.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: RUU PKS usaha bangsa berikan tempat bagi kemanusiaan

Ia berharap tanggal 18 Agustus mendatang Badan Legislasi DPR dapat mempresentasikan naskah RUU PKS yang telah disusun.

"Dengan demikian UU PKS bisa menjadi hadiah bagi bangsa ini pada peringatan Hari Ibu tahun ini," katanya.

Sementara itu, anggota Majelis Musyawarah Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Nur Rofiah yang juga menjadi salah satu pembicara menyepakati bahwa hukum melakukan kekerasan seksual, baik di dalam dan di luar perkawinan adalah haram.

"Islam sebagai satu sistem ajaran memiliki landasan moral yang mengacu pada nilai dan prinsip kebajikan universal seperti keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, untuk menyempurnakan akhlak mulia manusia, termasuk pada perempuan. Di sisi lain, Negara sebagai 'ulil amri' wajib memberikan perlindungan sistemik mulai dari pencegahan, penghukuman, perlindungan hingga pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Selain itu,tindakan pemimpin kepada rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan," katanya.

Oleh karena itu, ia menilai apabila RUU PKS sudah disahkan maka kehati-hatian dan kejelasan norma perlu dikedepankan agar tidak terbuka pintu multitafsir dan penyalahgunaan dalam implementasi.

"KUPI meyakini anggota DPR, dengan kearifan dan kenegarawanannya mampu menghadirkan UU PKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok 'dhuafa' (lemah) dan 'mustadh’afin' (terlemahkan secara struktural)," katanya.

Baca juga: RUU PKS, setitik harapan untuk keadilan bagi korban kekerasan seksual

Pewarta: Aris Wasita
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021