Jakarta (ANTARA) - Perwakilan Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (PP IKABI) dr Patrianev Darwis SpB KV menyebutkan kematian dokter pada saat pandemi COVID-19 sebenarnya bisa dicegah.

“Beberapa guru besar kita meninggal karena COVID-19. Dia syahid, tapi sebenarnya bisa dicegah. Permasalahannya karena pemangku kebijakan tidak paham apa itu epidemi dan apa itu penyakit. Kalau mereka paham apa itu tidak akan terjadi lonjakan kasus yang demikian cepat,” ujar Patrianev dalam diskusi yang dipantau di Jakarta, Sabtu.

Dia menambahkan memang penyakit akibat COVID-19 tersebut bisa sembuh jika ditangani dengan tepat, akan tetapi jika terjadi epidemi dan lonjakan kasus demikian cepat sehingga kapasitas fasilitas kesehatan tidak memadai maka akan menyebabkan banyak masyarakat yang terinfeksi tidak tertolong.

Baca juga: 598 dokter gugur selama pandemi COVID-19

Patrianev membandingkan pada saat awal pandemi yang mana tenaga kesehatan menggunakan perlengkapan seadanya, akan tetapi dokter yang meninggal sedikit.

“Anehnya sekarang kita bekerja dengan perlengkapan yang lebih baik, tetapi terjadi kematian yang tinggi pada dokter dan tenaga kesehatan,” tambah dia.

Pihaknya mencatat lebih dari 600 dokter meninggal dunia selama menangani pandemi. Bahkan pada Juli saja, dokter yang meninggal mencapai 168 orang. Padahal pada puncak pandemi pada Januari 2021, jumlah dokter yang meninggal sebanyak 68 orang.

“Kematian dokter meningkat drastis pada Juli ini, tiga kali lipat dari pada puncak gelombang pertama. Setiap hari ada lima hingga enam dokter yang meninggal pada bulan ini. Belum lagi kalau kita hitung dokter gigi, tenaga kesehatan, dan lainnya,” terang dia.

Dia menambahkan dokter yang terdampak bukan hanya dokter penyakit dalam, tetapi juga semua dokter. Dokter juga tidak mungkin mengangkat bendera putih karena terikat pada sumpah dokter dan Kode Etik Kedokteran.

Baca juga: IDI Lampung catat lima dokter gugur akibat COVID-19 pada Juli

“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak yakni memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Memberikan pelayanan medis sesuai standar, menerima imbalan jasa, dan memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan keluarganya,” terang dia.

Dokter memiliki risiko yang tinggi dikarenakan terpapar virus dalam jangka waktu yang lama, keletihan, kelelahan bekerja, stigmatisasi, stigmatisasi, kekerasan verbal dan fisik, hingga jam kerja yang panjang.

Dokter, lanjut dia, meninggal banyak dikarenakan tidak bisa menolak pasien, alat pelindung diri terbatas, pelacakan pasien terbatas, pemeriksaan swab baik antigen maupun PCR berbayar, dan pelacakan bahkan di fasilitas kesehatan jelek.

Dia berharap perlu adanya perlindungan negara terhadap dokter yang meninggal baik itu dokter ASN dan yang bukan ASN, tunjukkan simpati dan empati dan negara harus serius menangani COVID-19 serta tidak lagi membenturkan kesehatan dengan ekonomi.***3***

Baca juga: Selama pandemi, IDI Solo catat 13 dokter meninggal akibat COVID-19
Baca juga: Saran Guru Besar FKUI agar dokter tak pikul beban kerja terlalu berat
Baca juga: Dokter muda Papua Barat meninggal setelah berjuang melawan COVID-19


Pewarta: Indriani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021