Jakarta (ANTARA) - Usain Bolt, Elaine Thompson, Warren Weir, Yohan Blake, Elaine Thompson-Herah, Shelly-Ann Fraser-Pryce dan Shericka Jackson adalah sprinter-sprinter kelas dunia dari Jamaika.

Tiga yang terakhir disebut sudah memperoleh tiga medali Olimpiade Tokyo 2020 yang salah seorang di antaranya, Thompson-Herah, menyabet emas 100m putri di Stadion Nasional yang menjadi arena utama Tokyo 2020.

Bukan Tokyo 2020 saja, dari arena ke arena, sprinter-sprinter Jamaika senantiasa merajai dunia. Mengapa negara pulau seluas 11.000 km persegi atau hampir seluas Gorontalo dan berpenduduk 2,7 orang atau hampir sama banyak dengan jumlah penduduk Sulawesi Tenggara itu begitu menguasai lari jarak pendek dunia?

Ada anggapan setengah guyon bahwa rahasia Jamaika rutin menghasilkan sprinter-sprinter kelas dunia adalah ubi. Iya ubi, yang di Indonesia lebih sering dijadikan keripik atau kolak ketika puasa Ramadan tiba.

Menurut sejumlah peneliti, stimulan hyposteroid yang terkandung dalam ubi yang mudah sekali ditemukan Jamaika, adalah faktor yang membuat pelari Jamaika merajai trek dan lintasan dunia mengalahkan pelari-pelari dari negara-negara maju yang memiliki pola latihan, fasilitas dan teknologi tinggi untuk membantu manusia berlari lebih cepat dari waktu ke waktu.

Tetapi menurut sprinter Yohan Blake bukan itu alasannya. Dia malah menunjuk tekad besar orang Jamaika menjauhi kemiskinan yang justru membuat pelari-pelari jarak pendek Jamaika berlari lebih kencang. Cabang olah raga lari adalah harapan yang bisa menyulap nasib mereka.
 
Sprinter Jamaika Yohan Blake (tengah) beradu cepat dengan Benjamin Kwaku Azamati dari Ghana (kiri) dan pelari Slovakia Jan Volko (kanan) saat putaran pertama penyisihan lari sprint 100m putra Olimpiade Tokyo 2020 di Olympic Stadium, Tokyo, Jepang, pada 31 July 31, 2021 (ANTARA/REUTERS/PHIL NOBLE)


Baca juga: Blake raih penghargaan atlet atletik terbaik Jamaika

“Ketika kami kecil dulu kami menghabiskan waktu di luar rumah, mengejar-ngejar mobil,” kata Blake seperti dikutip laman Firstpost.

Dan wahana untuk melarikan diri dari kemiskinan itu adalah kompetisi lari tingkat sekolah menengah atas yang disebut Inter-Secondary Schools Boys and Girls Championships yang lebih umum dikenal dengan ‘Champs’.

“Champs adalah awal dari semua ini. Turnamen ini mengubah Anda dari anak-anak menjadi orang dewasa. Ini salah satu kejuaraan tingkat SMA terbesar di dunia. Jika Anda mengikutinya maka Anda akan menyaksikan pelari-pelari sekaliber Bolt, Fraser-Pryce, Veronica Campbell, Elaine Thompson. Semua pelari ini muncul dari Champs,” kata Blake kepada Firstpost.

Kompetisi ini sudah ada sejak 1910 setiap tahun selama empat hari di Stadion Nasional di Kingston, ibukota Jamaika. Kendati hanya tingkat SMA, turnamen ini menarik perhatian puluhan ribu orang dan diliput oleh televisi dan media. Pada akhirnya, kompetisi ini menjadi kawah candradimuka untuk para pelari dalam membiasakan hidup di bawah sorotan dan tekanan publik.

Tahun lalu Champs ditiadakan gara-gara pandemi, namun kemudian digelar lagi tahun ini. Para pencari bakat dari Amerika Serikat sering menyambangi Champs sembari menawarkan beasiswa kepada mereka yang paling potensial.

Baca juga: OLIMPIADE 2016 - McLeod rebut emas 110m halang rintang untuk Jamaika

Selanjutnya detak jantung ...

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2021