Jakarta (ANTARA) - Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawasan eksternal memiliki tugas dan peran menyukseskan implementasi Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kata Ketua Ombudsman RI Mokh Najih.

Tugas dan peran itu, di antaranya mengawasi penyelenggaraan layanan publik dalam pelaksanaan UU Omnibus Law Cipta Kerja berikut peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) yang jadi aturan turunan, kata dia saat membuka satu acara diskusi virtual di Jakarta, Kamis.

Dalam sambutannya, Mokh Najih menyampaikan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah pola berpikir (mindset) dan pola perilaku terkait konteks cipta kerja.

Baca juga: Rizal Mallarangeng: UU Ciptaker adalah reformasi kelembagaan terbesar

“Undang-undang ini diciptakan dalam mekanisme Omnibus Law. Mekanisme ini baru diperkenalkan dan itu bagian dari proses yang kita sebut sebagai revolusi mental, revolusi birokrasi,” kata Mokh Najih.

UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja merupakan produk hukum berbentuk omnibus yang menyatukan kurang lebih 80 undang-undang menjadi satu.

Undang-undang itu sejauh ini telah menurunkan 47 peraturan pemerintah dan empat perpres.

Terkait itu, Ketua Ombudsman RI berharap UU Cipta Kerja dapat mempercepat layanan perizinan, terutama bidang investasi, yang nantinya dapat meningkatkan nilai indeks kemudahan berbisnis di Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman RI Hery Susanto menyebut ada empat aturan pelaksana di UU Cipta Kerja yang terkait langsung dengan perizinan berusaha.

“Pertama, PP No.5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Kedua, PP No.6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah. Ketiga, PP No.7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan K-UMKM (Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Red.). Keempat, Peraturan Presiden No.10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal,” ujar Hery.

Terkait itu, Hery berpendapat aturan-aturan pelaksana mengenai perizinan butuh perhatian khusus. Pasalnya, banyak masyarakat masih kurang memahami prosedur dan standar pelayanan yang harus dipenuhi.

Tidak hanya itu, ia juga menyoroti sistem perizinan terpadu berbasis digital, Online Single Submission (OSS), yang jadi salah satu wujud pelaksanaan UU Cipta Kerja.

“Dukungan jaringan telekomunikasi yang belum baik sehingga sistem OSS belum bisa diterapkan di daerah. Hal ini berimplikasi pada sinkronisasi data kependudukan dalam pengurusan perizinan belum terkoneksi dengan baik,” terang Hery Susanto, anggota Ombudsman RI yang mengampu isu Kemaritiman dan Investasi.

Baca juga: Guru Besar UGM paparkan permasalahan UU Cipta Kerja
Baca juga: Luhut: Penanganan COVID jadi pertimbangan investor masuk ke Indonesia

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021